Kita sama-sama mendamba. Hanya saja, rasamu lebih lama.
Dan...tebak, siapa yang paling banyak terluka?
***
Vioni tak bisa terus-terusan seperti ini.
Kalimat itu terus berputar di kepala Brian. Seribu kali ia berusaha tak peduli pada Vioni, sejuta kali ia hadir melindungi.
"Mau sampai kapan?" racau Brian. Ia menatap wajah tertidur bak malaikat itu. Perlahan diangkatnya tubuh Vioni dan membawa masuk ke kamar Ken. Diletakkannya tubuh Vioni hati-hati dan mengecup keningnya.
"Gue di sini selalu ada buat lo," bisik Brian, jika Vioni sadar ia takkan berani mengatakan itu. Tangan Vioni yang banyak goresan kering di dekat urat nadinya ia usap lembut, berbanding terbalik dengan wajahnya yang berubah merah.
"Gue cinta lo Vioni, dari dulu dan gak pernah berubah." Brian bangkit, ditariknya selimut menutupi tubuh Vioni dan melangkah pergi mencari pelarian atas rasa sakit yang kini mendera bagian terpenting ditubuhnya.
***
"Gue laper!" rengek Alona setelah kembali dari klinik hewan. Rasa lapar yang ia rasakan sudah tak bisa lagi ditoleransi.
"Tapi di dekat sini gak ada cafe atau resto," jawab Aska. Ia fokus menyetir, sesekali melihat ke pinggir jalan barang kali ada cafe atau resto yang bisa mereka kunjungi.
Alona cemberut, bibirnya mengerucut sempurna. Ia menghela napas berat kemudian matanya membulat dan tersenyum melihat warung tenda pinggir jalan yang baru saja mereka lewati.
"Stop!" teriak Alona, membuat Aska refleks menghentikan mobil.
"Astaga Alona, kamu gila ya?" ketus Aska. Ia menatap lurus Alona yang tersenyum tanpa rasa bersalah. Gadis itu menggaruk kepalanya sekilas kemudian melepas seatbelt, membuka pintu penumpang dan segera keluar dari mobil.
Aska kesal, tapi kekesalannya surut saat matanya yang sedari tadi mengikuti Alona pergi melihat gadis itu memasuki tenda kaki lima di dekatnya. Tanpa menunggu lama Aska memarkirkan mobilnya dan ikut keluar.
"Punya lo udah gue pesenin, ntar lagi juga datang," ujar Alona acuh sambil asik menyantap nasi uduk.
Aska menatap aneh pada Alona kemudian ikut duduk di depannya.
"Kamu gak takut dilihatin banyak orang?" tanya Aska.
"Kenapa harus takut? Gue juga manusia yang butuh makan," balas Alona setelah makanan di mulutnya habis. "Kenapa lo malu makan di pinggir jalan?" lanjutnya, bertepatan dengan makanan pesanannya untuk Aska tiba.
"Bukan, cuma aneh aja, artis cantik terkenal ini ternyata suka makanan pinggir jalan"
Gantian Alona yang menatap ke arah Aska dengan wajah datar. "Makasih udah mengakui kecantikan dan keterkenalan gue," ujarnya. "Tapi gue ini pecinta makanan, mana mungkin alergi sama makanan seenak ini," lanjutnya.
"Lo juga suka kan?"
Aska tersedak, aktifitas makannya terhenti. Ia langsung menyesap air putih hangat dan setelah rasa sesak itu mereda Aska meneliti wajah acuh Alona. "Makanan ini enak, jadi gak ada alasan buat saya untuk gak suka," jawab Aska lugas. "Tapi lihat wajah kamu yang makan seperti kucing terlantar itu buat napsu makan saya hilang," lanjutnya dan Alona berhenti makan saat itu juga.
"Kenapa berhenti?" Aska tersenyum jahil, wajah kesal Alona semakin lama diperhatikan semakin terlihat menggemaskan.
"Selera makan gue juga hilang liat wajah nyebelin lo!" ketus Alona. Meski begitu ia justru berjalan kasir.