Not Proscenium

Rima Selvani
Chapter #11

Sebelas: Awal Segala Patah

Saat pertama kali kakiku melangkah, aku tak pernah sadar jika itu adalah awal dari segala patah yang kini menjadi luka yang merekah.

***

Seragam putih abu-abu yang beberapa jam lalu itu masih baik-baik saja kini sudah menjadi warna-warni. Tiga orang remaja yang masing-masing menggenggam cat pilog warna-warni itu berkumpul dan menjauhi keramaian teman-teman satu sekolahnya yang lain. Setelah menorehkan tanda tangan untuk kenangan terakhir masa SMA mereka, Ken, Brian dan Vioni duduk di tanah lapang. Memandang sekolah yang sebentar lagi akan menjadi salah satu list daftar kenangan mereka.

"Abis ini kita ngapain?" tanya Brian. Pelan, gadis itu merebahkan tubuh, menghiraukan debu yang akan menempel di tubuhnya. Kini, mata gadis itu hanya sibuk memandangi langit biru muda yang berhiaskan awan putih yang mirip sekali dengan permen kapas.

Vioni terseyum, membahas permen kapas ia jadi ingat jika itu adalah cemilan favorite yang selalu Ken bawa jika ia sedang datang tamu bulanan atau sedang dalam mood yang buruk.

"Gue mau jadi model," balas Vioni, menjawab pertanyaan Brian. Ia menatap punggung kedua teman lelakinya yang masih duduk. Setelah mendengar kalimatnya, Ken dan Brian ikut merebahkan diri.

"Kalian?" tanyanya balik, Vioni menoleh ke kiri menatap Ken yang berbaring di sebelah kirinya, kemudian tersenyum kecil, Setelahnya gantian, ia menoleh ke kanan melihat Brian yang ternyata sedari tadi menatap wajahnya.

"Gue tau gue cantik, gak usah di pandangin terus, lo kebiasaan Yan!" ujar Vioni. Brian yang diledeki hanya tertawa kecil tapi tetap tak putus memandangi wajah sahabat perempuannya itu.

"Gue mau lanjut kuliah," tutur Brian.

Kemudian hening, kedua sahabat itu masih menunggu jawaban Ken yang sedari tadi diam. "Lo gimana Ken?" tanya Brian akhirnya setelah lima menit tak juga mendapat jawaban dari Ken.

"Gue mau fokus jadi aktor," jawab Ken. Lelaki itu memang baru terjun ke dunia hiburan satu tahun belakangan ini. Meski namanya masih belum terlalu terkenal tapi keinginannya untuk mencapai itu terlalu besar. Ken ingin seluruh dunia tau siapa dirinya.

Brian terkekeh, ia memalingkan pandangnya dari yang tadinya menatap Vioni, kini beralih pada Ken. Tersenyum jahil kemudian berkata dengan percaya diri, "Kalau gitu nanti gue yang bakal jadi CEO di agensi kalian."

***

"Saya gak bercanda."

Alona mengatupkan bibirnya yang menganga secara tak elegant. Matanya membola kemudian ia menunjuk Aska.

"Bagian mana yang lo maksud gak bercanda?" tanya Alona sambil memberikan gestur tanda kutip pada tangannya. Gadis itu menatap aneh pada Aska yang antara terlalu jujur atau aneh menurutnya.

"Kalimat saya mana yang kamu pikir bercanda?" balas Aska.

Lelaki itu beranjak dari duduknya dan membawa mangkuk mie kosong miliknya kemudian mencuci benda itu. Alona yang masih belum selesai dengan makanannya langsung menyodorkan mangkuk berisi mie itu pada Aska.

"Gue kenyang," ujarnya. Bukannya menerima mangkuk yang Alona sodorkan, Aska melewati gadis itu begitu saja.

"Cuci sendiri, saya bukan asisten kamu," lanjutnya dan membuat Alona kesal entah untuk yang keberapa kalinya hari ini. Alona meletakkan mangkuk itu begitu saja di meja kemudian mengejar langkah Aska yang sudah meninggalkannya.

"Lo dengan mudahnya ngaku kalo suka gue, wajar dong gue anggap itu bercanda," ujar Alona setelah ia berdiri dihadapan Aska yang kini duduk di depan sofa menghadap tv yang menyala. Layar itu sedang menampilkan wajah Alona dan Ken, iklan tentang film layar lebar mereka yang sebentar lagi akan tayang.

"Saya gak bilang kalo saya suka kamu," jawab Aska. Matanya masih fokus pada layar kaca berbentuk persegi panjang itu.

"Terus kalo gak suka kenapa lo jawab iya?"

Alona kini sudah duduk di samping Aska. Kali ini Aska menoleh, melihat wajah Alona yang sudah jengkel dan tersenyum tipis. Tipis sekali hingga Alona tak menyadarinya. "Saya berdebar saat sama kamu, jadi saya hanya berkata jujur."

Lihat selengkapnya