Jika kenangan adalah hal yang paling kelam untukmu, maka jangan lihat kebelakang. Terseyumlah, sampai kamu tahu yang sekarang juga belum tentu hanya berwarna terang.
"Sialan!"
Alona melemparkan ponsel berlambang apel itu ke tempat tidur. Malampiaskan kekesalannya pada benda mati yang tak bersalah. Gadis itu mendengkus kesal, menatap tajam ponselnya yang sudah beberapa hari ini sengaja ia alihkan dalam mode pesawat. Niatnya pergi dari Jakarta adalah agar terhidar dari segala hal yang membuat beban pikirannya bertembah, namun yang terjadi saat ini justru sumber masalah itu yang mendatanginya.
Ken dan Vioni adalah sumber masalahnya, dan kedua orang itu berada di Bandung, bahkan di hotel yang sama dengannya.
"Kak, lo ngasih info hotel gue nginep ke Ken dan Vioni?" tanya Alona langsung saat mode pesawat ponselnya ia nonaktifkan dan telponnya dengan Nadia tersambung. Orang yang terhubung dengannya tertawa kecil dan itu membuat rasa jengkelnya semakin berada di ubun-ubun.
"Gue ini manager lo Alona, gue gak bakal ngasih info lo ke orang lain. Selain atasan management."
"Tapi, kena-" kalimatnya tercekat. Kata-kata terakhir Nadia membuat Alona teringat akan satu hal. Ia memaki dalam hati dan mematikan secara sepihak sambungan telfon. Kini panggilan telponnya beralih pada satu nama yang terbersit di kepalanya.
"BRIAN!" teriak Alona langsung saat telponnya di jawab.
Brian yang disambut dengan teriakan menggelegar itu langsung menjauhkan telinganya dari ponsel. Menatap geli nama Alona yang tertera di layar.
"Kenapa? ada masalah lagi lo sama Ken?"
"Masalah gue itu pasti selalu ada kaitannya sama dua sahabat lo itu," jawab Alona. Ia merebahkan dirinya ke kasur dan kembali melanjutkan kalimatnya. "Tapi kali ini masalahnya itu di elo." Alona membaringkan tubuhnya ke kanan, menatap jendela hotel yang memperlihatkan langit hitam legam yang tak ada bintang.
"Lo kan yang kasih tau keberadaan gue di Bandung?"
Lagi-lagi suara tawa yang menjawab pertanyaan Alona. Gadis itu merotasikan bola matanya jengah, tapi belum sempat ia menyembur Brian dengan umpatan, Alona dibuat bungkam dengan jawaban CEO nya itu.
"Bahkan seluruh Indonesia tau di mana keberadaan lo."
Jeda sejenak. Alona masih diam.
"Lo udah milih buat jadi public figure dan itu ngebuat hidup lo gak ada lagi yang namanya privasi. Ayolah Lona, emang udah berapa lama sih lo terjun ke dunia beginian. Masih aja lupa."
Brian benar. Mana ada lagi privasi dalam hidupnya.
"Nikmati aja Lona, mereka begitu juga karena sayang sama lo," ujar Brian lagi.
Dan Alona otomatis menggeleng, meskipun lawan bicaranya tak dapat melihat bantahannya itu. "Kalo sayang, mereka gak bakal buat gue merasa pergerakan gue selalu diawasi begini. Lo tau rasanya seperti setiap hari dengar ungkapan cinta, tapi dibelakang semua yang mengaku cinta itu gak pernah benar-benar serius. Dia punya orang lain yang lebih nyata."
"Penggemar, emang kadang bisa posesif Lona, lo terima aja karena itu udah jadi resikonya."
Brian bisa saja bosan untuk mengingatkan artisnya itu untuk menikmati apa yang ia kerjakan, tapi lelaki itu tak bisa membantah bahwa berada di posisi Alona adalah hal yang berat.
"Gue gak cuma bahas soal penggemar, sahabat lo juga salah satu orang yang seperti itu," balas Alona sarkas.
"Wait, sahabat gue yang lo maksud, Ken atau Vioni?"
Gantian Alona yang tertawa. "Lo masih nanya? Apa Vioni adalah salah satu orang yang sayang ke gue? Lo lupa? Dia itu salah satu orang yang mungkin bakal bersorak senang kalo gue mati."
"Jadi, yang lo maksud Ken?"
"Right! Siapa lagi kalo bukan dia. Pacar yang setiap hari bilang cinta."
Tapi, gak pernah sadar. Siapa yang dia cinta sebenarnya, lanjut Alona dalam hati.