Mirisnya, satu kesalahan bisa membuatmu menjadi orang terjahat di dunia. Namun, seribu kebaikan tak mampu menutupi itu semua.
***
Dua hari berlalu, yang Alona lakukan hanya berdiam diri di kamar dan paling mentok hanya berjalan-jalan di mall terdekat dari hotelnya. Moodnya hancur saat kabar tentang dirinya yang berada di Bandung ternyata sudah beredar luas. Bahkan saat ia melihat akun fanbase ada beberapa oknum yang bahkan memberitahu dimana Alona menginap. Rasanya gadis itu ingin pindah hotel saja, tapi niatnya ia urungkan.
"Aska lagi ngapain ya?"
Gadis itu menatap atap kamar hotelnya yang gelap tanpa penerangan. Melihat jendela kamar yang tirainya terbuka lebar, memperlihatkan langit hitam kelam yang sekali lagi tak berbintang.
"Ke sana aja kali ya," racau Alona lagi. Ia melihat jam dinding yang menunjuk angka delapan. Bangkit dari tidur dan langsung memoles dirinya dengan make up tipis. Alona sudah memutuskan. Ia yang akan lebih dulu mendekati Aska, dan kita lihat seberapa lama Aska akan mengabaikan Alona.
Tepat waktu.
Saat baru saja pintu kamar ia tutup, pintu kamar di depannya terbuka. Menampilkan wajah lelaki yang tak ia lihat dua hari belakangan ini. Pakaian yang ia kenakan sederhana, hanya hoodie biru muda dan setelan celana pendek. Rambutnya yang biasanya menutupi dahi, kini tersingkap sempurna, membuat ketampanan memancar berlipat ganda.
Jodoh emang gak kemana, ujar Alona dalam hati.
Aska fokus dengan tas selempangnya hingga belum menyadari keberadaan Alona.
"Aska," panggil Alona, ia melangkah mendakati Aska yang masih sibuk merogoh isi tasnya. "Lo mau kemana?"
Kini fokus Aska tertuju pada Alona yang tanpa tau malu sudah melingkarkan tangannya di lengan Aska. "Lo kok diam aja? Mau sok jual mahal sama gue?"
Aska nampak acuh, melepas pelukan tangan Alona dan berjalan meninggalkan gadis itu seolah-olah di dekatnya tak ada orang sama sekali.
Alona mengejar, dihadangnya jalan Aska dengan tangan yang sengaja ia rentangkan.
"Kamu mau apa?"
Dan, apa yang Alona inginkan tercapai. Rencananya untuk mengusik ketenangan Aska sebentar lagi akan terlaksana. "Gue mau gangguin lo," balas Alona terus terang.
"Saya sibuk, kamu bisa cari orang lain aja nggak untuk hari ini?"
Alona menggeleng, bibirnya cemberut kemudian menarik hoodie Aska dan mengikuti kemanapun lelaki itu melangkah. "Gue ikut ya, bosen."
Helaan napas pelan terdengar dan Alona tersenyum samar saat mendengar itu. Ia tau Aska takkan tega menolaknya, karena lelaki itu terlalu baik. Dan Alona rasa kini hatinya tak jatuh cinta pada orang yang salah. Kalau nantipun ia terluka, gadis itu yakin Aska bukan satu-satunya orang yang akan menorehkan luka secara sadar.
Aska terlalu naif, untuk dirinya yang manipulatif.
"Oke, kamu boleh ikut. Tapi, dengan catatan kamu gak boleh protes, gak boleh marah, gak boleh kesal dan gak boleh nanya-nanya."
"Jadi intinya gue nggak boleh ngomong, gitu?"
Aska mengangguk dan Alona memaksakan senyum.
"Kalo nggak mau juga nggak apa, kamu tinggal cari orang lain yang mau diganggu sama kamu. Cuma saya orang yang bisa ngadepin kucing betina agresif seperti kamu."
"Dan lo, kucing jantan pasifnya. Lucu kan, saling melengkapi."
Alona tersenyum, ia kembali menarik lengan Aska dan menggandeng tangan itu tanpa niat melepasnya sama sekali. Sementara Aska hanya bisa pasrah sambil melengkungkan senyum tipis atas tingkah Alona padanya.
***
Suara derap langkah kaki keduanya menjadi musik pengiring yang menemani. Alona diam, seperti perjanjian awal, ia tak boleh bertanya apa lagi protes pada Aska yang kini entah membawanya kemana. Lelaki itu hanya diam saja dan membiarkan pegangan Alona pada lengannya mengerat saat mereka melewati sebuah lorong gelap yang lebih terlihat seperti sarang penjahat.
“Kenapa?”
Akhirnya Aska bersuara juga dan Alona mengehela napas lega.
“Gue udah boleh ngomong?”
Aska menahan tawa saat mendengar kalimat Alona. Ia menoleh, sedikit menunduk untuk melihat wajah Alona lebih jelas. “Ternyata kamu bisa jinak juga ya,” ungkapnya dan Alona langsung berhenti berjalan. Melepas tautan tangannya.
“Lo rese banget, sih! Lo lagi ngerjain gue ya?” tuding Alona. Ia berniat jalan Mendahului Aska, tapi saat melihat jalan di depannya lagi-lagi langkahnya terhenti. “Kita mau ke mana, sih?” tanya Alona, ia mundur selangkah dan kembali pada tempatnya semula. Berada tepat di sebelah Aska.
“Kamu liat nggak belokan di ujung jalan sana?”