Not Proscenium

Rima Selvani
Chapter #14

Empatbelas: Alokasi Benci dan Cinta.

Ini tentang sebuah permainan yang bersinggungan tentang rasa dan logika. Hal bertentangan yang kadang bisa mengubah benci menjadi cinta. Atau yang lebih parah mengubah cinta menjadi benci setengah mati.

“Lo kenapa baru bilang sekarang?”

Alona melotot, bola matanya seperti akan keluar dari tempatnya. Gadis itu menggeser duduknya lebih condong ke Aska. Ia ingin melihat bukti tentang ucapan lelaki itu. Karena tadi, Aska bilang ia memiliki bukti jika tak berbohong akan apa yang diceritakan.

“Saya juga baru ingat kemarin,” jawab Aska.

Kopi pesanan mereka tiba, Aska melayangkan senyum pada pelayan perempuan yang mengantarkan pesanan dan berucap terimakasih, membuat Alona bersungut kesal melihatnya.

“Genit lo!” seru Alona.

“Genit dari mana? Saya cuma bersikap ramah, salah?”

Alona kembari merengut, ia menarik satu gelas yang berisi kopi hitam yang masih panas. “Kamu mau apa?”

Pergerakan Alona terhenti, ia menatap nyalang mata Aska. “Ya mau minumlah, mau apa lagi, coba.” 

Aska melipat kedua tangannya di dada. “Ya silahkan minum, kalo kamu sudah siap lidahnya melepuh,” jawab Aska lagi. Ia kini mengeluarkan ponselnya dan mengotak-atik benda kotak itu.  

Setelah beberapa hari berada di dekat Aska, Alona sadar jika lelaki itu tak pernah lepas dari ponselnya. “Lo lagi chattingan sama siapa, sih?” ujar Alona setelah ia mengurungkan niatnya untuk menyesap kopi panas yang baru saja tiba.

“Kenapa? Kamu cemburu?”

Alona terkesiap. 

Ia menyampirkan rambut panjangnya yang terurai. Melepas masker hitam yang melekat di wajahnya, kemudian merenggangkan sendi-sendi jarinya yang terasa pegal. “Kepedean banget lo!” ketus Alona. 

“Kamu yang buat saya seperti ini.”

“Hah?”

“Iya, kamu sendiri yang bilang kalo berdebar sama seseorang itu tandanya suka, dan kalo suka biasanya bakal ada rasa cemburu.”

“Terus apa hubungannya sama gue?”

“Kamu juga berdebar saat dekat saya Alona, dan tadi kamu cemberut waktu lihat saya senyum ke perempuan lain. Itu tandanya kamu cemburu karena kamu juga suka saya.”

Alona menyesal pernah secara sengaja meledek Aska suka padanya. Kalau tahu ia yang akan menjadi tumbal selanjutnya, Alona takkan pernah melakukan hal seperti itu. Ia sudah berusaha menyangkal keras jika debarannya bukan berarti suka, tapi lagi-lagi Aska seperti memperjelas segalanya. 

Jadi, kalau sudah seperti ini, apa yang harus Alona lakukan?

Melakukan permainan tarik ulur seperti yang biasanya dilakukan orang-orang yang sedang PDKT, atau berpura-pura tak terjadi apa-apa saja. Toh juga setelah seminggu ini berakhir kemungkinan mereka bertemu kembali sangat kecil.

“Kamu diam, gak bisa bantah ya?”

Bukan. Bukannya Alona tak bisa melakukan perlawanan. Otaknya sedang mencerna pilihan mana yang paling baik untuk mereka berdua. Setelah menemukan jawaban yang tepat, Alona menatap Aska. Ternyata lelaki itu juga sedang menatap kearahnya, sambil menggenggam ponsel yang kini sedang membuka galeri.

“Ini bukti kalo kita pernah ketemu setahun yang lalu.”

Alona menerima ponsel Aska, berusaha mengendalikan wajah terkejutnya melihat foto yang menampilkan dirinya yang sedang mencium pipi Aska. Dan, sepertinya rencananya dan rencana Tuhan memang sejalan, karena sejujurnya Alona ingin lelaki itu hanya terikat padanya. 

“Mulai hari ini, lo gak boleh lirik cewe lain.”

Kini Aska yang terperangah. Di tariknya ponsel yang masih berada di genggaman Alona. Kemudian melayangkan protes setelah benda itu berhasil ia masukkan ke dalam saku celana. 

“Kamu punya hak apa sampai berani ngelarang saya?”

Lonceng angin yang ada di depan pintu masuk coffe shop berbunyi, membuat suasana hening di antara mereka menjadi lebih segar. “Gue harus tanggung jawab, karena gue yakin itu pasti ciuman pertama lo.”

Gelengan kencang dari Aska membuat Alona melunturkan senyumnya. Ia bahkan bisa berubah seposesif ini saat memikirkan jika Aska pernah dicium oleh wanita lain, meski hanya di pipi. 

“Jadi, itu bukan ciuman pertama lo?” tanya Alona, sengaja memastikan kebenaran.

Lihat selengkapnya