Terlena pada kisah lama. Terlarut pada cerita yang penuh luka. Meninggalkan semesta yang menanti kata bahagia.
***
Toilet wanita.
Raut wajah cemberut yang terpantul di depan cermin yang kini ia lihat membuat Alona rasanya ingin melempar wajah itu dengan sendal. Wajahnya terlalu menyebalkan, terlalu terbaca jika kini sedang cemburu karena pemikiran bahwa Aska pernah berciuman dengan gadis lain.
Rasanya, Alona ingin memaksa Aska untuk menjadi kekasihnya secara nyata. Silahkan bilang Alona agresif, ia memang sedang tak ingin menjadi pasif kemudian menyesal saat ia kehilangan apa yang belum sempat diusahakan.
“Apa gue tembak aja ya?” gumam Alona.
Ia mencuci mukanya dengan air wastafel yang mengalir. Mengeringkan wajahnya dengan tisu dan menambah perona merah di pipi agar tak terlihat terlalu pucat. “Tapi, gak bisa ya,” ujarnya lagi saat sadar statusnya kini, meski hanya di depan layar. Tetap saja, orang tahu ia milik Ken.
“Atau gue ajakin backstreet?”
Gelengan kepala berkali-kali menjadi jawaban atas pertanyaannya sendiri. Alona menunjuk wajahnya yang terlihat dari cermin. “Kanebo kering itu mana mau, dia kan kaku.” Alona mendengkus menyadari kalimatnya sendiri, kemudian memasukkan liptint yang sempat ia keluarkan ke dalam tas.
Alona sudah memutuskan. Ia akan perlahan melakukan pendekatan. Perlahan membuat Aska terjabak pada pesonanya dan membuat lelaki kaku bin cuek itu bertekuk lutut padanya. Ya, Alona sudah bertekat. Kakinya melangkah tegar tanpa gentar keluar dari toilet dan menghampiri lelaki yang tadi sempat ia tinggalkan sendiri karena kesal.
“Loh?”
Langkah Alona melambat. Ia melihat punggung Aska yang masih duduk di tempatnya tadi. Kemudian, mata gadis itu menatap sinis pada laki-laki yang duduk di tempatnya. Itu Ken, dengan senyum yang terlihat tak ramah sama sekali.
“Lo kenapa bisa di sini?”
Setelah sengaja melangkah cukup lebar, semburan pertanyaan itu langsung Alona keluarkan. Ia menarik kursi kosong yang terletak di antara kedua lelaki tampan itu.
“Lo sengaja nyamperin gue ke sini, kan?” Baru saja ia duduk dan pertanyaan untuk Ken kembali terdengar. Lelaki yang di tanyai malah diam sambil menyesap kopi yang tadi Aska pesankan untuk Alona.
“Gue kangan sama pacar sendiri, salah?” tanya Ken. Ia melempar senyum pada Alona, mengeluarkan ponselnya dan mengotak-atik benda kotak itu.
“Lo liat ini,” ujar Ken lagi. Ponselnya sudah ia letakkan di hadapan Alona, dengan posisi hidup dan menampilkan sebuah artikel yang baru saja dipublish limabelas menit yang lalu.
“Apa-apan ini!” ujar Alona setelah melihat satu judul artikel tentang dirinya. Gadis itu meletakkan ponsel Ken kembali dan meraih ponselnya di dalam tas. Menonaktifkan mode pesawat dan mengetik namanya di kolom pencarian google.
“Wah! Jangan bilang di sini juga ada mereka?”
Ken mengangguk. Ia melipat tangannya dan menarik lembut Alona untuk mendekat padanya. “Di meja sudut sebelah kiri, pas di depan lo sekarang.” bisik Ken, dan Alona langsung melirik ke arah yang disebutkan. Benar saja, kini ada seorang yang memakai pakaian serba tertutup dengan kamera kecil yang ia letakkan di atas meja.
Aska yang berada di antara sepasang kekasih itu tak buka suara. Ia hanya diam seolah-olah tak mengenal dua orang yang kini bersamanya. Lelaki itu menyesap kopi pesanannya sampai tandas, kemudian berdiri. Berniat meninggalkan Alona dan Ken berdua.
“Lo mau kemana?” tanya Alona menghentikan pergerakan Aska. Tangan lelaki itu ia tahan, tetapi segera di lepaskannya lagi saat Ken memperingatinya dengan dehaman yang cukup keras.
“Saya mau balik ke hotel,” jawab Aska.
“Tapi, kita kan perginya sama-sama. Pulang juga harus sama-sama,” ujar Alona lagi dengan suara kecil.
Aska menggeleng. Mengambil tas kecilnya yang ia sampirkan di punggung kursi. “Tapi sekarang, kamu sudah gak sendirian. Saya gak ada alasan lagi buat temanin kamu di sini,” jawab Aska dan ia benar-benar pergi setelahnya.
***
Kepergian Aska membuat segalanya semakin runyam. Udara yang tadinya terasa sejuk, seketika membuat Alona merasa sesak. Ia muak melihat wajah Ken yang terlihat biasa saja. Padahal saat ini rasanya Alona ingin sekali mencakar wajah lelaki itu, kalau perlu ia akan membawa Mantan untuk membantunya membuat wajah Ken rusak.
“Kenapa diam saja? Sakit gigi lo?”
Tatapan tajam itu langsung Alona layangkan. “Gue sakit perut liat muka lo!” balas Alona ketus. Meski nada suaranya ketus, tapi gadis itu masih menampilkan wajah ceria. Ya, Alona mau tak mau melakukan itu karena paparazi yang mengikutinya masih ada di dekat mereka.
“Lo bisa pergi dari sini nggak?”