Rasanya sudah sama, hanya saja terlalu lama tersampaikan. Menunggu waktu yang tak kunjung seirama. Menyalahkan waktu yang tak selalu memberi jeda.
***
Satu hari lagi berlalu.
Hari ketujuh, dan pagi ini cuaca mendung. Membuat Alona tak berniat ke mana pun.
Alona gelisah.
Percakapannya dengan Ken kemarin dan foto-fotonya bersama Aska yang beredar di internet membuatnya gundah. Baru saja ia ingin melakukan pendekatan pada lelaki bermulut tajam itu, tapi semesta seperti memerintahkannya untuk menjauh.
Apakah ia bisa? Menjadikan Aska satu-satunya miliknya?
Mengenai kalimat Ken dan berita itu, Alona jadi menebak-nebak apa yang terjadi dengannya satu tahun silam. Bodohnya, gadis itu sama sekali tak ingat.
Alona membuka pintu jendela kamarnya. Membiarkan hawa dingin di luar masuk bersatu padu dengan suhu ruangan. Gadis itu memandang lurus ke depan. Pepohonan tinggi yang terpampang di depannya membuat Alona tersenyum kecut mengingat ciuman singkatnya dengan Ken tadi malam.
Ciuman yang Alona anggap sebagai ciuman perpisahan.
Ia sudah bertekat mengakhiri segalanya.
“Brian, gue bisa ketemu lo?” tanya Alona.
“Oke, gue sekarang ke sana,” ujarnya setelah mendapat jawaban dari Brian.
***
Langkah Alona terhenti di depan kamar nomor limabelas. Alona menatap datar pintu kamar di depannya. Menerka-nerka jika Vioni juga berada di dalam sana, bersama dengan Brian dan Ken.
Pintu diketuk dua kali. Alona masih menunggu, dan saat pintu itu terbuka wajahnya yang datar berubah masam. Gadis itu menatap sinis pada Vioni yang kini juga menampilkan raut wajah yang sama dengannya.
“Brian mana?” tanya Alona langsung, sama sekali tak berusaha ramah.
Vioni tak menjawab. Ia membuka pintu lebar, kemudian berbalik badan dan meninggalkan Alona sendirian.
“Selamat datang di kamar mantan!” Seruan itu hadir saat Alona baru saja lima langkah memasuki kamar hotel. Seorang laki-laki yang kini bertelanjang dada berjalan menghampiri Alona yang menatap aneh ke arahnya. Dalam hati Alona menggerutu tentang seberapa anehnya lelaki yang bergelar CEO di agensinya itu.
“Norak banget lo!” cerca Alona. Gadis itu mengikuti arah jalan Brian. Melihat Brian berbelok ke kanan tak sengaja melihat bayangan dua orang yang berada di satu kamar yang sama.
Alona sudah bisa menebak siapa dua orang itu.
Vioni dan Ken.
“Sabar Al, cewek sabar disayang duda.”
“Kalo duda nya Song Jong Ki gue jabanin deh,” balas Alona.
Mereka sampai di depan sebuah sofa besar. Alona mendudukkan dirinya di sofa itu dan Brian berjalan ke patry. Menyiapkan minuman dan cemilan untuk Alona.
“Lo mau minum apa Al, mumpung lagi di kamar mantan. Ada janji manis ni? Minat?”
Alona mendengkus. Kemudian tertawa kecil mendengar lelucon garing Brian.
“Air putih aja, ngeri gue kalo disuguhin minuman sama cowo kayak lo.”
“Kayak gue itu maksudnya yang gimana ya? Yang baik dan pengertian? Lo takut baper?”
“Najis!” cela Alona. Ia bersikap pura-pura memuntahkan sesuatu.
Brian tersenyum dan membawa sebotol air mineral dan sebungkus keripik kentang. “Jadi, lo ke sini ada perlu apa?” tanya Brian. Ia duduk di depan Alona yang kini sudah membuka bungkus keripik kentangnya.
“Gue mau tanya tentang kejadian setahun yang lalu,” balas Alona.
Brian duduk tegap seketika. Mengeryit bingung memikirkan dari mana Alona tahu tentang itu.
“Gue tahu dari Ken,” jawab Alona. Brian yang mendapatkan jawaban dari Alona langsung berpaling ke arah kamar tidur, kesal dengan kelakukan Ken.
“Terus, lo mau tahu apa tentang itu?”
Mungkin ini saatnya Brian bicara. Meski sebenarnya ia enggan jika Alona mengetahui apa yang terjadi.
“Lo kenapa gak bilang kalau hubungan settingan ini juga untuk nutupin skandal gue?”
“Waktu itu lo lagi sibuk sama project syuting yang numpuk. Gue gak mau ganggu fokus lo,” jawab Brian sekenanya.
Alona mengangguk, apa yang Brian katakan masuk akal. Sebagai petinggi di perusahaan, Alona mewajarkan tindakan Brian. Mana ada bos yang ingin kehilangan sumber pencariannya.