Jika ini adalah cerita fiksi, mungkin lebih baik menjadi orang ketiga serba tahu. Karena apa? Tak perlu lagi menebak. Seluruhnya sudah dituliskan. Bahkan isi hati manusia yang tak bisa ditebak sekalipun.
***
Kilauan blitz kamera bertebaran di mana-mana. Puluhan wartawan berdiri di depan gedung Briga Entertaiment. Sedangkan Alona, duduk di samping Ken menatap puluhan wartawan yang membelakangi mereka dari balik kaca mobil.
“Are you oke?” tanya Ken.
Lelaki itu mengusap tangan Alona yang terkepal. Wajah Alona yang tak terbaca membuat Ken khawatir. “Alona, bilang satu kata. Apapun itu,” mohon Ken saat Alona masih saja tak bersuara. Gadis itu menoleh ke arahnya, menatap lurus pada Ken dan menggeleng kencang. “Atau lo boleh pukul gue, marah aja ke gue,” ujar Ken lagi. Tapi, lagi-lagi Alona tak memberikan reaksi berarti.
Hening. Ken kehabisan kosakata untuk membujuk Alona. Lelaki itu membuka ponselnya, memantau berita-berita terbaru. Dan mengehela nafas lega saat Brian memberitahukan jika video yang beredar sudah di takedown.
“Udah, lo gak perlu khawatir, videonya udah dihapus,” ujar Ken.
“Gak perlu khawatir lo bilang?!”
Bentakan Alona yang cukup keras membuat Ken terdiam. Wajah Alona memerah karena amarah, tangannya yang sedari tadi mengepal kuat sudah bergantian menunjuk wajah Ken. “Gimana caranya gue nggak khawatir sedangkan karir gue diambang kehancuran!” maki Alona lagi.
Ia melempar ponselnya yang tak berhenti berdering, mengakibatkan benda kotak itu retak dan layarnya berubah gelap. “Dan ini semua gara-gara lo!”
Ken menunduk. Ia tak bisa membantah kalimat Alona. Gadis itu benar tentang ucapannya. Mana ada manusia normal yang akan biasa saja saat apa yang selama ini diusahakannya hancur begitu saja hanya karena video singkat itu.
“Harusnya lo gak manfaatin keadaan mabuk gue saat itu. Harusnya lo gak jadi cowo brengsek yang dengan kurang ajarnya ngerekam apa yang kita lakuin malam itu. Lo gila Ken!”
Tubuhnya bergerak naik turun karena amarah. Mobil ini terlalu pengap untuk mereka berdua, dan dengan kesadaran penuh Alona turun dari mobil. Melangkah mendekati para wartawan yang masih belum menyadari kehadirannya. Membelah lautan manusia itu dan berdiri di tengah-tengah mereka.
“Saya di sini!” teriak Alona pada seluruh awak media. Kilatan blitz kamera semakin banyak bersaut-sautan, membuat mata gadis itu semakin perih karena cahaya terang dan tangis yang berusaha sedari tadi ia tahan.
“Orang yang kalian cari ada di sini,” ulang Alona dan disaat yang sama Ken datang dan ikut berdiri di sampingnya. Berdiri diam dan membiarkan para awak media mengambil gambar mereka lebih banyak.
“Alona, apa benar di video itu anda dan saudara Ken?”
Ken memalingkan wajahnya, saat pertanyaan salah satu wartawan terlontar. Wajah Alona tak terbaca sama sekali. Dan saat Ken masih fokus menatap wajah gadis itu, Alona berpaling. Keduanya saling bertatapan sejenak.
“Saya nggak bisa kasih jawaban pasti ke kalian,” ujar Alona. Ia sengaja menjeda kalimatnya berharap Ken akan buka suara. Namun, laki-laki itu bungkam seribu bahasa dengan tangan yang menggenggam tangannya. “Karena saya bahkan sama sekali belum lihat video yang kalian maksud,” lanjut Alona.
Setelah kalimat Alona benar-benar berakhir, para bodyguard nya datang menghampiri dan mengawal Alona masuk ke dalam gedung. Sebentar lagi Brian akan tiba, dan mereka harus segera menyelesaikan permasalahan ini.
***
Dua jam berlalu. Brian, Ken, Alona dan juga Nadia berkumpul. Ruangan CEO kini beraura suram, semua saling menunggu siapa yang akan buka suara terlebih dahulu.
“Jadi-” kalimat Ken menggantung. Ia menatap Alona yang tak bersuara sejak tadi. Terakhir gadis itu bersuara hanya saat berhadapan dengan para wartawan.
“Yang di video itu benar kalian?” tanya Brian. Nada suaranya tegas, tatapannya serius dan mengintimidasi. Ken diam, ia menatap Alona. Alona yang merasa sedang diperhatikan langsung duduk tegap dan melihat Brian tanpa ekspresi sama sekali.
Di dasar hatinya yang paling dalam, Alona yakin ia takkan mungkin berbuat hal seperti itu. Tapi, keyakinannya harus dikuatkan oleh pernyataan Ken. Lelaki itu harus memberitahunya apa yang terjadi sebenarnya di antara mereka saat di Bandung.
“Gue gak tahu,” jawab Alona sekenanya. “Tapi gue yakin itu bukan gue. Kalaupun itu gue, berarti gue ngelakuin itu gak sadar, gue mabuk waktu itu.”
“Jadi lo mau jadiin alkohol sebagai alibi?” tanya Brian. Alona langsung menggeleng kencang. Ia tak terima jika dibilang hanya mencari alibi.
“Ken!” sentak Brian.
Ken yang tertunduk langsung menatap sahabatnya itu.
“Lo gak mau kasih pembelaan apapun?” tanya Brian.
Ken menjawab Brian dengan gelengan kepala. Menatap Alona dengan pandangan bersalah dan minta maaf. “Sorry Al,” ujarnya.