Salah dan benar. Takkan bergeming jika diantara ada kata praduga tak berselah. Karena bukti yang bicara.
***
Video Syur Beredar, Alona Menulis Surat Permintaan Maaf Dan Akui Mabuk Saat Kejadian.
Kalimat berukuran cukup besar yang terpampang jelas di layar televisi membuat Alona meradang. Tadi, sebelum meninggalkan gedung agensi ia bahkan sudah memberi peringatan pada Brian untuk meluruskan segala kesalahpahaman yang terjadi. Tapi apa yang terjadi kini?
Lelaki itu sengaja.
Sengaja memberikan klarifikasi yang jelas tak sesuai fakta.
Harusnya Alona tak percaya pada mereka. Keduanya mencintai Vioni.
“Kalau udah gini, gue harus gimana kak?”
Wajah Alona kembali suram, kekecewaan terpancar jelas di sana. “Bahkan Brian, yang gue percaya ada dipihak gue juga berkhianat. Dia lebih milih lindungin Vioni,” lanjut Alona.
Nadia tak bisa lagi bicara. Ia hanya meneruskan langkahnya untuk mematikan televisi yang kini sedang membicarakan Alona dan Ken. Kali ini Nadia hanya bisa menatap Alona sambil mengotak-atik ponselnya. Melihat artikel apa saja yang keluar malam ini.
“Gila,” maki Nadia. Ia tak sadar telah menyuarakan umpatannya. Membuat Alona langsung berdiri tegak menghampirinya.
“Ada berita apa lagi kak, tentang gue?”
Dari nada suaranya yang lemah, Nadia jadi semakin tak tega untuk memberitahukan Alona tentang apa yang baru saja ia lihat. Namun, jika tak diberitahu Alona tetap akan mengetahuinya.
“Foto lo setahun lalu Al.”
“Ooh...yang sama Aska itu?”
Harusnya Alona tak menanggapi santai kalimat Nadia. Namun mau bagaimana lagi, untuk kaget pun ia tak lagi bisa. Sudah bisa diprediksi, jika akan banyak berita miring yang akan keluar setelahnya. Tinggal menunggu dan Alona harus menyiapkan mentalnya. Meski sejujurnya gadis itu sangat ingin sekali melarikan diri.
“Lo udah tahu?” tanya Nadia.
Gelengan kepala Alona menjadi jawaban.
“Setahun lalu, Brian sengaja nutupin tentang foto itu untuk ngelindungi karir gue. Dan sekarang dia sengaja buka lagi kasus itu buat lindungi Vioni. Gue harusnya gak kaget lagi kak.”
“Lo mau diam aja Al?”
“Apa gue bisa ngelawan?”
“Bisa gue bakal bantu,” balas Nadia.
Alona tertawa miris. Ia memang sedang memikirkan bagaimana caranya untuk membuat publik percaya padanya. Sedari tadi. Tapi, semakin ia berpikir berita-berita buruk tentangnya semakin bertebaran.
“Gue gak yakin kak. Orang gak bakalan mau percaya kalau gak ada bukti.”
“Jadi lo mau diam gitu aja?”
Bukan. Alona mana mau menyerah begitu saja. Ia kini hanya sedang memberi jeda untuk otaknya yang berantakan. Membiarkan segala hal yang berserakan di kepalanya benar-benar bersih dan mampu berpikir jernih. Tapi, semua hal itu entah kapan akan terjadi.
“Gue gak tahu kak, otak gue gak bisa diajak kompromi. Lo tahu yang ada di kepala gue cuma bagaimana caranya mati, biar semua kelar. Toh karir gue juga udah hancur.”
Nadia menelan ludah. Apa yang ia khawatirkan sedari tadi akhirnya terbuka. Alona, gadis yang beberapa tahun terakhir selalu ada di sampingnya itu akhirnya mau mengungkapkan apa yang dirasakannya. Ini lebih baik dari pada Alona setahun lalu.
“Al, jangan sampai lo ngelakuin hal yang lo lakuin satu tahun lalu.”
“Maksud lo coba buat mati?”
Alona tersenyum masam, ia melihat Nadia dengan tatapan sedih. Rasa bersalahnya semakin besar saat melihat Nadia yang khawatir padanya. “Maaf kak. Maaf gue selalu nyusahin lo. Maafin gue,” cicit Alona. Ia menangis lagi. Kali ini menelungkupkan wajahnya ke senderan sofa.
“Gue maafin lo, asal lo janji gak akan ngelukain diri lo sendiri seperti tahun lalu.”
Alona tak menjawab.
Ia kembali menghidupkan televisi yang tadi dimatikan oleh Nadia. Mengotak atik siaran televisi itu, mencari siaran yang tak menampilkan berita tentang dirinya. Namun,nihil. Seperti memang orang di dunia ini hanya ada Alona, berita di tv masih sibuk membahas tentangnya. Dan kali ini bahkan membahas tentang ibunya.
Tentang Diana, yang merupakan seorang simpanan.