Detak yang tadinya berhenti, kini hidup lagi hanya karena satu kata suka. Semoga saja bermuara pada sebuah cinta yang berakhir bahagia.
Semangkuk mi rebus yang setengah jam lalu masih hangat itu kini sudah berubah dingin. Mi nya sudah mengembang sudah tak menggugah selera lagi untuk dimakan. Begitulah bentuknya jika sebuah perasaan terlalu lama diabaikan. Jika tak terbuang maka lebih enak dijadikan pilihan jika memang tak ada lagi yang benar-benar bisa diandalkan.
Alona menatap sekilas mi rebus yang sudah tak lagi ada kuahnya itu. Menatap mi yang sudah seperti cacing kelebihan gizi itu dengan pandangan tak selera. Kemudian mendorongnya menjauh dari hadapannya.
“Mi nya sudah gak cantik lagi kak, gue skip ya.”
Nadia menghela nafas. Sudah dua hari berlalu semenjak pertengkaran terakhir Alona dengan Vioni. Dan dua hari itu pula yang Alona lakukan hanya berdiam diri di apartementnya, menghiraukan berita-berita miring yang semakin simpang siur tentang dirinya. Alona seperti tak lagi peduli, dengan apa yang akan terjadi. Ia seperti sudah siap mati dan kehilangan semuanya.
Ya... meskipun Alona memang sudah kehilangan hampir seluruhnya. Kecuali, Diana, Nadia dan... bolehkah Alona memasukkan nama Aska ke dalam daftar itu?
“Lo beneran gak mau bicara apapun tentang skandal lo itu Al?”
Alona menggeleng. Eksprersinya acuh, lalu menarik ponsel yang tergeletak di depan meja. Ponsel baru yang sengaja Nadia belikan kemarin karena ponsel lamanya rusak karena ia lemparkan waktu itu.
“Percuma kak, lo tahu sendiri kalau Brian sudah terlibat itu tandanya bakal sulit buat gue.”
“Terus, lo mau sampai kapan diam di sini saja? Lo pikir gue gak tahu diam-diam lo ngelakuin apa?”
Alona tertawa kencang. Melihat tembok kamarnya yang berwarna putih, sehingga memberi aksen cerah untuk ruangan yang ia huni. “Maksud lo ini?” tanya Alona. Ia menyingkap pergelangan tangannya yang sedari tadi tertutupi oleh lengan baju.
“Gores dikit doang kak, gak bahaya kok,” ujar Alona. Ia menatap goresan-goresan di tangannya yang sudah mengering.
“Terus, lo ngerasa happy sudah ngelakuin itu?”
Alona memandang wajah Nadia lamat-lamat. Kemudian beralih melihat keluar jendela. “Happy? Gue bahkan gak merasakan bahagia waktu ngelakuin itu.”
“Terus kenapa lo lakuin?”
“Gue cuma mau berlaku adil kak. Gue gak tega sama perasaan gue yang terus-terusan gue biarin sakit, jadi gak ada salahnya fisik gue juga merasakan hal yang sama. Biar keduanya saling mengerti.”
“Jadi maksud lo, lo sengaja lukai tubuh lo biar perasaan lo yang sudah babak belur itu ngerasa punya teman?”
Alona mengangguk, membuat Nadia merasa prihatin.
“Al, lo tahu gak. Kita gak selalu harus ngalamin hal yang sama untuk mengerti keadaan seseorang. Kalau perasaan lo terluka, harusnya tubuh lo cari cara untuk nyembuhin itu. Bukannya malah ikut-ikutan sakit. Kalau dua-duanya terluka, siapa lagi yang berusaha nyembuhin.”
“Ternyata gue masih saja egois ya kak,” ujar Alona. Ia tersenyum getir. Berdiri dan mendekati Nadia yang duduk di seberangnya. “Gue egois karena saat terluka gue malah mau orang lain juga sama terlukanya.”
Nadia memeluk Alona. Diusapnya kepala gadis yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri itu. “Apa yang lo lakuin itu memang sikap alamiah manusia kok Al. Bukan lo saja. Banyak orang, kok, yang waktu ditimpa musibah terus ngeluh kenapa harus dia, kenapa gak yang lain saja. Padahal orang lain yang dimaksud lagi dapat musibah yang lebih berat. Makanya, dari dulu gue selalu minta lo buat lihat sesuatu itu bukan cuma dari satu sudut pandang. Karena dari satu sudut pandang saja lo gak bisa lihat semua kebenaran yang tersembunyi dibaliknya.”
Ternyata, tak perlu mencari kesana kemari. Alona sudah memiliki teman sekaligus kakak yang siap sedia menemaninya. Bodohnya gadis itu tak pernah menyadari jika orang-orang tulus itu ada di dekatnya.
“Jadi, menurut lo gue harus apa?”
Alona mendongak, dilihatnya Nadia yang masih memeluknya.
“Pertama.” Nadia melepaskan pelukan mereka. Membawa tubuh Alona memutar, memindai penampilan gadis itu yang berantakan. “Lo harus mandi. Badan lo bau banget,” ujar Nadia. Ia mengapit hidungnya dengan ibu jari dan telunjuk.
“Kedua, setelah mandi lo harus ikut gue ke psikiater.”
Alona mendadak heran. “Untuk apa?” tanyanya kemudian.
“Lo butuh tempat curhat profesional.”
Nadia mendorong tubuh Alona ke arah bathroom tetapi gadis itu manahan langkahnya kuat. Menoleh tak terima pada apa yang Nadia perintahkan. “Tapi, gue gak bu-”
“Gak butuh maksud lo? Lo masih mau ketemu Mantan, kan? Lakuin apa yang gue minta dan gue bawa Mantan ke sini.”
Kalau sudah begini. Alona terpaksa melakukan apa yang Nadia perintahkan. Ini demi Mantan.
Ya, demi Mantan.
***
Selama ini Aska selalu menganggap jika apa yang kini ia tekuni adalah hal yang ia cintai. Membantu orang-orang yang mempunyai masalah dengan dirinya sendiri. Membantu orang-orang yang kebingungan. Tapi, dari sekian banyak kata membantu yang terselip dibalik pekerjaannya. Aska kadang bertanya-tanya. Kenapa orang-orang yang merasa terbantu olehnya justru tak jarang juga memilih untuk mengakhiri segalanya dengan cara pintas.
Dan kini, Aska sedang bersiap. Merapikan jas putih yang biasa ia kenakan saat bekerja. Menatap satu file bertuliskan nama seseorang yang sejak setahun belakangan bersarang di kepala. Bahkan semakin menjadi sejak ia kembali bertemu gadis itu sembilan hari yang lalu.
Amanda Ilona.
Aska menatap jam dinding yang menempel di ruangannya. Menatao jarum pendek dan panjang yang kini menunjukkan hampir pukul sebelas siang tepat. Sesuai waktu yang telah disepakati, kemungkinan sebentar lagi Aska akan kembali melihat wajah Alona. Wajah yang tiap bertemu dengannya selalu terlihat kesal, namun di satu waktu tetap menggemaskan.
“Itu dia.”
Senyum Aska terangkat naik saat pintu bel ruangannya berbunyi. Ia sudah menebak siapa sosok di balik pintu itu. Secepat mungkin ia memperbaiki ekspresi wajahnya yang berseri-seri, menjadi sebiasa mungkin.
“Hai kak!” sapa Aska pada orang yang kini berdiri di depannya. Ia memeluk Nadia sekilas. Melirik sedikit Alona yang berdiri dengan eskpresi terkejut di belakang Nadia. Wajah terkejut gadis itu membuat senyum geli dari Aska terbit.
“Lo gak kasih tahu dia kalo psikiaternya gue?” bisik Aska disela pelukannya.