Bahkan seekor kucing putih bercorak abu-abu itu pun bisa dijadikan alasan untuk jatuh cinta dan melupakan luka-luka semalam.
“Lo kenapa gak bilang kalau Aska itu sepupuan sama lo, kak?”
“Lo, kan, nggak tanya.”
“Ya juga, sih!”
Sepulang dari tempat praktek Aska, Alona dan Nadia langsung kembali ke apartementnya. Meski sempat mampir sebentar untuk membeli beberapa bungkus burger di salah satu gerai makanan cepat saji.
“Kak, gue cari dokter lain saja ya,” pinta Alona. Ia memasang wajah lesu, merayu Nadia untuk mengurungkan keinginannya. Lagian gue tahu kok, kak, tubuh gue bagaimana. Masih sehat kok, pikiran gue juga masih baik-baik saja.”
“Bukan soal tubuh lo yang sehat Al, gue mau ada orang yang bisa ngerti diri lo, dan gue pikir Aska cocok untuk jagain itu.”
“Kalo begitu kenapa lo gak suruh Aska jadi pacar gue saja kak, itu lebih baik dari sekedar dokter pendamping.”
“Lo pikir dia bakalan mau?”
“Loh, kenapa enggak? Gue kurang cantik?”
Setelah itu, keduanya saling pandang. Alona sebenarnya sudah tahu jawaban atas pertanyaannya sendiri. Ia hanya pura-pura tak tahu. Mana mungkin ia lupa penolakan yang Aska lakukan beberapa jam lalu.
“Dia bahkan nggak ngasih nomor hp nya ke lo, iya kan?”
Alona menunduk menahan malu.
“Kok, lo bisa tau?”
Keduanya kembali saling pandang, seakan sedang saling membaca pikiran masing-masing. Seperti Alona yang kini sedang bersusah payah menyembunyikan perasaannya, Nadia juga seperti itu. Menyembunyikan perasaan untuk tidak menertawakan seorang Alona yang tak pernah ditolak. Alona menunduk lagi, kini menatap sebungkus cheese burger kesukaannya.
“Gue kenal Aska itu nggak setahun dua tahun, Al. Dia itu bukan orang yang dengan mudahnya biarin orang baru masuk ke kehidupan pribadinya. Kalau ada orang yang bisa masuk, tandanya orang itu benar-benar berarti buat dia.”
Nadia melihat Alona. Melihat gadis berperawakan mungil itu sedang menggigit sepotong cheese burgernya ogah-ogahan. “Lo beneran naksir dia?” ulang Nadia menyelidik.
Alona tersedak, rasa sesak bercampur malu karena perasaannya telah diketahui bersatu padu. Membuat wajah gadis itu memerah bukan main. Tapi, bukan Alona jika tak bisa bersikap santai. Dia adalah aktris hebat yang diakui oleh seluruh Indonesia, jadi apa susahnya berbohong sedikit saja.
“Naksir Aska? Gue? Gak mungkin lah kak, sejak kapan standar gue jadi turun dari seorang Ken ke Aska?”
Kurang ajar, pikir Nadia. Mana terima dia sepupu kesayangannya diberi kedudukan lebih rendah dari Ken. Memang, Ken seorang artis terkenal, tampan dan kaya raya. Tapi soal perasaan, Aska jauh lebih baik.
“Aneh lo, kalau gak naksir dia, kenapa kekeuh banget buat punya nomor nya? Oke, gue tau lo gabut, tapi jangan main-main sama sepupu gue. Dan asal lo tahu, Aska seribu kali lebih baik dari mantan pacar lo itu.”
Wajah Alona berubah bingung mlihat Nadia yang mencak-mencak sendiri. Iya sih, dia salah karena telah membandingkan kedua orang yang sebenarnya tak akan bisa dibandingkan. Karena apa? Masing-masing dari mereka punya kelebihan dan kekurangan. Jika Ken berparas tampan, Aska juga memiliknya. Meski image cowo baik tercetak jelas di wajahnya dan Ken wajah tampan dengan image badboy. Ralat. Bukan badboy, tapi brengsek. Itu yang Alona pikirkan tentang mantan kekasihnya. Sekarang.
Soal sikap, kedua orang itu sama-sama minus. Aska dengan kalimatnya yang blak-blakan tapi tepat dan Ken dengan mulus manisnya yang ternyata hanya berisi bualan. Kalau soal kekayaan, entahlah. Alona tak ingin membandingkan. Toh dia tak membutuhkan itu, gadis itu bisa mencari uang untuk kebutuhannya sendiri, ia bukan gadis manja yang untuk membeli apa yang ia ingin saja harus meminta. Bukankah gunanya tubuh diberikan sehat untuk mencukupkan diri?
“Iya, iya Aska lebih baik,” ujar Alona. Ia mengalah saja dari pada Nadia satu-satunya orang yang berada di pihaknya sekarang malah marah dan pergi.
Nadia tersenyum bertepatan dengan bel apartement yang berbunyi.
“Biar gue aja, lo lanjutin makan.”
Alona mengangguk dan Nadia beranjak dari tempat duduknya. Menghampiri siapapun yang kini sedang mengunjungi mereka.
Suara pintu ditutup dengan sangat kencang membuat Alona terusik. Ia berdiri dari duduknya, menghampiri Nadia yang kini menampilkan ekspresi marah. “Siapa kak?”
“Mantan lo,” ketus Nadia. Ia berbalik, jalan melewati Alona dan saat keduanya berdiri sejajar Nadia mengeluarkan kalimat perintahnya. “Jangan buka pintunya!”
Manusia, jika diberikan larangan, maka akan melakukan hal yang sebaliknya, itulah yang Alona lakukan. Alih-alih duduk tenang, gadis itu melirik Nadia yang sudah menghilang di balik pintu kamar tidur, Alona melangkah pelan. Meyakinkan dirinya sendiri untuk menghadapi rasa sakit berikutnya. Kenapa Alona menebak itu rasa sakit? Karena sepanjang ia bersama Ken, track record rasa sakitnya yang dominan. Bahkan, Alona percaya, rasa bahagia yang pernah ada di antara mereka dulu itu adalah ilusi yang ia ciptakan sendiri.
“Lo mau apa?” sentak Alona ketus.
“Al, gue mau ngomong. Penting.”
Apa yang harus Alona lakukan sekarang? Menolak permintaan Ken? Atau menerimanya dan membiarkan lelaki itu melangkah jauh memasuki apartement yang separuh dari ruangan itu sudah berisi kenangan mereka berdua?
“Ngomong aja!” Alona berusaha bersikap tegas, berusaha terlihat tak terganggu sama sekali akan kehadiran Ken.
Ken yang masih beridiri di depan apartement Alona menoleh ke kanan dan kiri, melihat situasi di dekat mereka. Berjaga-jaga jika ada orang lain. “Gue boleh masuk?”
Wajah Alona berubah, dari yang tadinya datar menjadi tak suka. Untuk apa lelaki itu meminta masuk kalau ke datangannya hanya untuk kembali menghancurkan segalanya, seperti yang lelaki itu lakukan saat Alona membiarkannya masuk ke hatinya. Kalau tau seperti ini, harusnya Alona mendengarkan larangan Nadia. Untuk tak membuka pintu.
“Limabelas menit, waktu lo untuk bilang semuanya.”