Jika bukan tempatnya, ia takkan pernah merasa lengkap. Karena kamu takkan pernah benar di tempat yang menginginkan kamu salah.
“Idih, pede banget lo!”
Alona memasang wajah judesnya, mendongak melihat Aska yang kini masih belum melepaskan pelukannya dari pinggang Alona. Gadis itupun tak ada inisiatif untuk minta dilepaskan. Mantan yang tadi berada di dekapan Aska sudah naik ke atas ranjang Alona dengan sendirinya.
“Loh, kok nggak mau ngaku? Bukannya kamu yang minta saya ke sini?”
Alona merasakan jantungnya berdebar-debar. Jika jantungnya adalah sebuah balon yang rentang meletus jika terlalu banyak diisi udara, maka bisa dipastikan saat ini juga Alona akan kehilangan nyawanya. Jantungnya pasti akan meledak dan mengeluarkan suara yang hanya bisa didengar oleh sel-sel yang ada di dalam tubuhnya.
“Siapa yang bilang, hoax banget! Lo sebagai dokter harusnya gak percaya begitu saja sama omongan orang lain.”
Aska menatap lurus wajah Alona, perlahan ia menuntun tubuh itu untuk duduk di atas ranjang. Alona yang diperlakukan seperti orang yang benar-benar sakit parah, hanya diam saja. Menunduk sambil menahan wajahnya yang semakin hangat. Entah karena efek berdekatan dengan Aska atau memang karena suhu tubuhnya yang semakin meningkat karena demam.
“Kak Nadia yang bilang, kok. Mana mungkin dia bohong.”
Aska keluar dari kamar Alona sebentar. Mencuci buah-buahan yang tadi sempat ia beli sebelum datang ke apartement Alona. Mencuci sebuah apel berwarna merah muda itu dan mengupas kulit dan memotongnya jadi bagian kecil.
“Ya, mungkin dia mau ngerjain lo!” sentak Alona saat lelaki itu kembali masuk kekamarnya.
“Gak mungkin Alona. Yaudah, kalau kamu gak mau saya ada di sini. Saya balik. Tugas saya untuk antar Mantan ke kamu sudah selesai.” Diletakkannya buah yang sudah dipotong tadi ke atas nakas samping ranjang.
Alona merengut. Di tariknya lengan baju Aska. “Yaelah, begitu saja ngambek,” gerutu Alona. “Iya, gue memang tadi sempat minta lo ke sini. Tapi gak serius kok, gue tahu lo sibuk. Gak kayak gue yang terancam jadi pengangguran.”
“Kenapa jadi pengangguran, kamu ngaku kalau kamu salah?”
Alona geleng-geleng kepala. “Gue nggak salah, sih!”
“Terus kenapa kamu takut?”
Mendadak Alona menjadi gelisah karena pertanyaan Aska. Apa yang ia takutkan sebenarnya? Kehilangan karir yang selama ini ia besarkan, atau kehilangan orang-orang yang menyukainya. Apalagi tadi ia sempat mendengar kalimat Nadia, jika ada beberapa Brand Ambassador yang memutus kontrak dengannya.
“G-gue...cuma-” Mata Alona bergerak kesana kemari. Mantan yang masih setia tidur di atas ranjangnya kini bergerak mendekatinya. Menggesekkan kepalanya ke pinggang Alona.
Aska sengaja diam ingin mendengarkan perasaan jujur Alona. “Gue cuma takut orang-orang percaya dan gak mau lagi terima gue.”
“Saya boleh duduk?”
Alona mengangguk dan Aska langsung duduk di samping ranjangnya. Mengambil Mantan yang ada di sebelah Alona dan memangku binatang lucu berbulu itu.
“Saya di sini, kamu bisa cerita apa saja. Rahasia kamu aman,” ucap Aska. Lelaki itu memberi gesture tutup mulut.
Alona tersenyum, tapi matanya tak bisa bohong. Senyum itu tak bisa membuat kesedihan yang dipendamnya tertutup. Aska bisa melihatnya dan saat itu juga mata Alona berkaca-kaca.
"Gue takut, semua orang benci gue Ka."
Suara yang terdengar itu lirih sekali. Seperti seseorang yang tertimpa sebuah reruntuhan dan diminta untuk segera diselamatkan.
Aska tersenyum, berusaha memberikan ketenangan di antara kegelisahan yang melanda Alona. Diusapnya surai hitam panjang Alona lalu ia berikan Alona buah apel yang tadi dibawanya.
Buah favorite Alona.
"Cobain, deh," ujar Aska.
Alona menerima apel pemberian Aska dan langsung menuruti keinginan lelaki berkemeja putih garis-garis itu. Akhir-akhir ini berdekatan dengan Aska membuat Alona semakin melunak, ia tak lagi gadis pembangkang yang beberapa hari lalo Aska temui, setelah skandal tak jelas itu mencuat.
Aska tersenyum, melihat Alona yang lahap sekali menggigit potongan-potongan apel pemberiannya.
"Kalo saya minta kamu rating rasa buah ini, kamu kasih rating berapa? Dari 1-10."
Alona berhenti dari aktifitasnya, menatap ke atap putih kamarnya sebentar sambil menimang-nimang berapa skor yang akan ia berikan untuk buah kesukaannya itu.
"Hem... 9/10 deh," ujar Alona.