Diawal Abad 21, terjadi kekacauan besar. Dunia dalam krisis, karena sistem komputer yang hanya diatur untuk tahun 1900-an, sehingga tahun 2000 dianggap sama dengan tahun 1900 oleh sistem. Inflasi menurun, dunia perbankan dunia dalam kekacauan. Dan, Indonesia yang sudah tinggal beberapa langkah dari menjadi Macan Asia, terpaksa kembali masuk kandang, tidak berhasil memperlihatkan taringnya.
Abad 21 telah dimulai, semua berbicara mengenai revolusi. Orde baru telah dimulai, Indonesia semakin demokratis, dan berusaha memajukan negerinya. Walau aku hanyalah seorang gadis berusia 12 tahun, aku dapat menggali informasi dari majalah yang dibawa ayah setiap minggunya. Tetapi, mari kita awali cerita ini dengan sesuatu yang... ehm..., realistik. Karena faktanya, semua kekacauan itu tidak berimbas apapun pada tempat aku tinggal. Kakak pertamaku masih asik dengan mesin jahit barunya, kakak keduaku pergi bermain dan meninggalkan tugasnya, dan tinggallah aku dengan tugas yang bertumpuk dua kali lipat, ah, bahkan berkali-kali lipat.
Fakta kedua, menjadi anak tengah itu sangat menyebalkan! Terlebih jika kalian memiliki kakak yang tidak dapat diandalkan, dan adik-adik yang tidak peduli. Aku harus mengerjakan semuanya, dan jika ada suatu tugas yang tidak kukerjakan dengan tepat, maka aku yang akan disalahkan, padahal itu bukan tanggung jawabku.
Fakta ketiganya, memiliki banyak anak perempuan itu bukan berarti hidup kita akan lebih ringan dan dilayani. Aku memiliki enam saudara perempuan- dua diantaranya sudah SMP- dan mereka benar-benar tidak dapat membantu. Bahkan untuk sekedar bergeser ketika aku menyapu lantai, mereka akan ogah-ogahan melakukannya. Benar-benar, tidak berguna.
Dan fakta terakhir hari ini, walaupun aku terkesan membanggakan diriku yang penurut dan cekatan, namun aku sungguh membenci peranku. Aku tidak ingin menjadi yang diandalkan. Aku ingin menjadi seperti saudari-saudariku, berlagak seperti ratu dan memiliki seseorang seperti aku yang melayaninya. Namun, aku selalu berpikir, jika aku bertingkah seperti mereka, siapa yang akan melayaniku? Tidak mungkin, kan, kakak-kakakku. Jadilah, aku memuji diriku sendiri agar rasa senang itu timbul.
Yah, walaupun begitu, mereka juga mengerjakan tugas mereka. Yang menjadi masalah, akulah yang harus menyelesaikan setengah dari tugas mereka yang abal-abalan. Jika mereka menyapu, maka aku akan pergi ke sudut-sudut dan menemukan tumpukan debu disana, jika mereka mencuci baju, maka aku akan menjadi orang yang memeriksa sisa sabun disana. Jika mereka pergi bermain, maka aku akan menjadi tukang jaga mereka, dan tidak boleh ada sedikit celah pun untukku lengah.
Intinya, aku adalah orang yang disuruh-suruh di rumah. Menyedihkan, kan?
“Kinaa, si Ijal mau makan! Tolong kamu ambil nasi dia di penanak! Ibu lagi memasak!”
Aku menoleh. Seharusnya aku menyahut dan mengatakan bahwa aku sedang menyetrika, dan setrika kami itu sudah rusak sehingga membutuhkan banyak perjuangan agar tidak membuat baju keluargaku rusak, dan seharusnya ibu meminta kepada banyak anaknya yang bertebaran di ruang tv, dan tidak mengerjakan apa-apa.
“Iya, Bu.” Dan yang kulakukan selalu sebaliknya.
Rizal, adikku yang berumur 3 tahun tersenyum kepadaku, menampakkan wajahnya yang cemong dengan bekas susu. Aku menjumput ujung bajuku, kemudian membersihkan mulutnya. Ia tertawa, lalu menarik tanganku agar bergegas mengisi piringnya.
Aku terseret, namun tersenyum. Rizal memang menggemaskan, tidak apalah aku melakukan sedikit hal untuk satu-satunya saudara lelakiku itu, dengan harapan jika ia besar ia akan menyayangiku juga.