Hari kamis merupakan hari pasar di desaku. Itu berarti, semua pemasok sayur, daging, dan barang-barang rumah tangga menjajakan dagangannya hari itu. semua bahan-bahan kebutuhan yang tidak ada di desaku akan ada pada hari pasar, karena banyak pedagang luar kota yang ikut berjualan, atau pemasok barang yang mampir hari itu.
Peristiwa kerusakan baju Ibu berbuntut panjang karena Kak Yati tidak mau meminjamkan mesin jahitnya. Entah kenapa, Ibu tidak mempermasalahkannya, dan aku terpaksa menjadi orang yang bertanggung jawab (lagi) dan menemani Ibu mencari bahan kain untuk tambalan bajunya. Sebetulnya di desaku ada beberapa penjahit, namun ternyata bahan baju Ibu termasuk bahan langka, tidak ada di desa kami. Jadi, Ibu mencoba mencari di pasar, mana tahu Ibu mendapatkannya.
Aku sudah menenteng beberapa kantong bahan-bahan masak yang tadi kami beli bersama. Karena Ayah termasuk orang penting di kantornya, kehidupan kami di desa ini sangat berkecukupan. Kami memiliki kereta kuda pribadi, dan aku bisa menitipkan belanjaan kami tanpa perlu menentengnya berkeliling pasar.
Sebetulnya, ini masih menjadi pertanyaanku kenapa kami bisa memiliki kusir kereta, tetaapi tidak memiliki satu pembantu pun di rumah, yang mengakibatkan aku harus banting tulang untuk menjaga kebersihan rumah dan menjaga emosi Ibuku agar tetap stabil. Ayah pernah berkata bahwa itu ditujukan untuk mendisiplinkan anak-anaknya, dan mengajarkan mereka untuk hidup mandiri. Sebetulnya itu lumayan masuk akal, tetapi juga kurang cocok. Tidak ada gunanya mendisiplinkan anak-anak seperti mereka (termasuk aku, mungkin). Setiap anak ingin di manja, bukan?
Kini, Ibu telah membawaku memasuki lorong-lorong penjual kain. Memang ajaib, tetapi para penjual kain akan menoleh serempak ke arah kita, dan begitu kita menatap balik, serentetan kata akan mereka lontarkan, dengan sedikit unsur paksaan dan omongan panjang tiada jeda. Pembeli yang datang tanpa membuat janji terlebih dulu membuat para pedagang, dan terutama untuk wilayah kecil seperti kampungku, harus ganas dalam menarik calon konsumen. Seru-seruan berisi tawaran mampir ataupun mempromosikan dagangan sendiri adalah standar dalam setiap teriakan. Bahkan yang paling lucu kudengar adalah seruan berulang-ulang, dengan nada yang tak berubah, membuatku tergelitik untuk menirukannya persis dengan si penjual teriakkan.
Ibu tidak tergerak sama sekali, berjalan lurus menghampiri kios kain langganannya. Aku tentu setia mengekori Ibu, walaupun kasihan juga dengan para pedagang yang mengemis ajakan, walaupun sekedar menyibak kain-kain jualan mereka.
Di ujung kios pakaian, berdirilah satu-satunya tempat kami membeli pakaian. Mulai dari baju kaus sehari-hari, hingga baju-baju penting untuk kondangan ataupun setelan sekolah, Ibu selalu mempercayakannya pada kios Bu Iin. Wanita paruh baya telah mengenal dunia pakaian dan kain dari ia kecil. Kiosnya yang sekarang pun merupakan kios turunan kakeknya, yang dulu dikelola pula oleh bapaknya. Tepatnya, kios itu telah berdiri selama tiga generasi. Hal ini menjadi nilai tambah untuknya, karena Bu Iin menjadi mengenal banyak sekali jenis kain, dan dapat merekomendasikan jenis apa yang cocok untuk kita gunakan sesuai kebutuhan. Dan Ibu telah membelinya semenjak pertama kali ia datang di kampung kami.
“Sinta, datang juga kemari?” Bu Iin menyapa ramah ibuku, dan tersenyum kepadaku. Aku mengangguk, mataku mulai menjelajahi jajaran pakaian anak yang terasa baru untuk mataku. Sejurus kemudian, mereka telah sibuk bernegosiasi, Bu Iin menunjukkan beberapa jenis kain, aku duduk-duduk di tepi kios.
“Aduh, bajumu dirusak anak-anak?” Bu Iin tertawa mendengar tuturan kisah Ibuku. Ia menepuk-nepuk kepalaku. “Wajar itu mah, Ta. Anak saya, entah sudah beberapa kali ini dia merusak baju jualan saya, jadi rusak semua, turun kualitasnya.”
Tak lama kemudian, Ibu malah melihat-lihat pakaian tidur anak yang kata Bu Iin merupakan barang baru dari toko pusat. Aku asyik pula memperhatikan bagaimana Bu Iin memprovokasi Ibuku untuk melirik sejenak barangnya yang lain, memang teknik pemasaran yang bagus.
Waktu belanja yang aku pikir hanya memakan beberapa menit, merembet panjang. Ibu dan Bu Iin malah berniat untuk melihat daging sapi bersama, dan aku terpaksa berbaik hati menunggui Kios Bu Iin.
Ibu memberikanku uang kecil agar aku bisa berbelanja. Aku senang, namun itu juga berarti Ibu akan pergi cukup lama sehingga aku memerlukan uang untuk menjanggal perutku.
“Kamu tolong tungguin sebentar ya, Kina? Itu anak Ibu belum balik-balik juga, padahal katanya mau lihat majalah sebentar saja.”
Kupingku tegak begitu mendengar kata majalah. Sebetulnya inilah rencana yang kususun setelah menemani Ibu berbelanja. Tadinya aku berniat mendatangi kios buku kesukaanku, tetapi sepertinya aku tidak bisa mendapat bacaan baru hari ini.
“Anakmu yang mana?” Ibu memotong ucapan Bu Iin, tidak tertarik dengan reaksiku.
Bu Iin tersenyum. “Itu loh, Sin, anakku yang paling bungsu. Eh, kalau tidak salah seumuran dengan Si Kinah, ya? Kina kelas enam sekolah dasar, kan?”
“Oh, yang ngikut ayahnya di rantau, ya?”
“Iya. Kan sekarang ayahnya udah balik lagi kesini, jadi dia bersekolah disini juga.” Wajah Bu Iin cerah, lalu ia melambaikan tangannya. “Wahyu, sini Nak!”
Aku ikut menoleh, ingin tahuku buncah akan anaknya yang seumuran denganku. Berhubung aku sedikit sekali memiliki teman, perkataan mengenai ‘teman baru’ sedikit banyaknya menarik insting kesepianku.
Lelaki itu menghampiri kami dengan berlari-lari kecil. Di tangannya terdapat gulungan majalah yang sayangnya tidak aku dapat ketahui judulnya. Keringat memercik dari ujung rambutnya, tubuhnya tinggi dan ringkih, namun kulitnya putih merona dan ia memiliki mata biru terang.
Biru?
“Wahyu, kenalin ini tetangga rumah kita.” Ia segera menyalami Ibuku takzim, tersenyum lebar. Bu Iin lalu berpaling ke arahku yang diam saja tidak peduli.
Oh, atau sebetulnya aku memedulikan warna matanya yang asing.
“Itu namanya Sakinah, dia seumuran kamu, loh! Kenalan sana, gih!” Bu Iin mendekatkan Wahyu kepadaku, dan aku reflek memundurkan badanku. Bu Iin tersadar, lalu terkekeh. “Maafkan Ibu, Kina. Soalnya dari dia datang ke kampung kemaren dia belum mempunyai teman sama sekali.”
Mata birunya berbinar-binar melihatku. Kini tanpa disuruh, ia menyodorkan tangannya di depan wajahku. “Hai, Kina! Aku Wahyu.”
Aku mengangguk, membalas sodoran tangannya, dan terpaksa menurunkan tangannya yang terlalu tinggi itu. Ia menyadarinya, terkekeh.