(Not) Sister

Yamsyina Hawnan
Chapter #7

Bagian dari senin pagi

Hari Senin. Tentu saja semua orang membenci Senin. Tepatnya, hari libur yang selalu terasa cepat berlalu akan digantikan oleh Senin. Walau seharusnya Senin adalah awal yang baru, tetapi mungkin awalan yang selalu berulang, awalan yang tidak baru sudah tidak populer.

Sejarahnya, nama-nama hari dalam Bahasa Indonesia merupakan serapan dari Bahasa Arab. Sedangkan hari Minggu merupakan serapan dari bahasa portugis. Berarti, secara bahasa, Senin itu berarti yang kedua. Dia bukanlah awalan. Ia hanya terusan yang berbeda dari awalannya-hari Minggu. Oleh karena itu dia tidak disukai. Tetapi semua hari setelahnya mengikuti.

Sama sepertiku, hari Senin membuat segala beban terasa berat mendadak. Entah kenapa aku merasa harus bekerja dua kali lipat lebih keras, padahal sebetulnya intensitas pekerjaanku sama saja. Aku harus membangunkan saudari-saudariku-beruntung semenjak kedua kakakku bersekolah di kota provinsi bersama ayah tidak ada yang membuatku gelisah untuk membangunkan mereka karena takut dibentak-dan menyuruh mereka mandi, sementara aku menyiapkan bekal mereka, membantu menyusun tas sekolah adik-adikku, dan menyiapkan seragam mereka yang sudah kusetrika hari Minggunya. Setelah itu, aku menyiapkan sarapan, biasanya teh manis dan roti tawar, barulah aku mandi. Begitu aku keluar dari kamarku dan siap dengan seragam, mereka telah siap semua sarapan. Lalu aku akan menyisihkan segelas teh dan dua lembar roti untukku, dan aku akan membersihkan bekas sarapan.

Kemudian kami pergi sekolah. Biasanya aku membonceng Meisya, dan adik kembar tiga ku saling bergantian berboncengan, lalu kami meluncur ke sekolah.

Pukul tujuh tepat upacara apel singkat akan dimulai, lalu kami kembali ke kelas masing-masing setengah jam kemudian.

Aku pada awalnya berniat untuk memasuki kelasku langsung, tetapi melihat adanya sampah makanan membuatku urung melangkah. Aku berjalan mendekati sampah-sampah itu, memungutinya satu-persatu.

“Kina!”

Mendengar adanya suara yang memanggilku tentu membuatku reflek mencari arah suara itu. Wahyu melambaikan tangannya kearahku, di sebelahnya Pak Jal, Wali kelasku menemani.

Aku mengangguk, kemudian berlalu mendekati tong sampah besar untuk membuang tumpukan sampah itu. Lalu aku mendekati mereka berdua, membersihkan tanganku dengan rokku, kemudian menyalami Pak Jal.

Wahyu merogoh sakunya, dan menyodorkan selembar tisu. Dengan cepat aku mengambilnya, membersihkan tanganku. Lalu, aku berjalan mengekori mereka.

Setibanya di depan kelas aku bergegas menuju bangkuku, tidak lagi memerhatikan Wahyu atau bisik-bisik yang tentunya membicarakan Wahyu. Kuambil buku tulisku, seraya memainkan pulpenku pada sampul buku tulisku.

Pak Jal memukul papan tulis. Bel sudah berbunyi, semua murid berombongan memasuki ruang kelas. Begitupun dengan kelasku. Sekolah pedalaman seperti di tempatku fasilitas memang kurang memadai, tetapi untung saja tenaga pengajar masih mencukupi kebutuhan belajar kami.

Kartika, teman sebangku-ku ikut pula memasuki tempat duduknya, tetapi setelah itu ia bergegas berbalik, memilih mengobrol dengan rombongannya, Fanni dan Sari. Tanpa mengajakku mengobrol atau sekadar memberi ucapan selamat pagi. Aku seakan onggokan batu yang entah kenapa terdampar di lautan siswa.

“Semuanya, perkenalkan teman baru kita yang baru pindah dari kota pusat.”

Dengungan penuh ingin tau itu bertambah ribut dengan tambahan fakta yang disebutkan Pak Jal. Anak-anak perempuan mengomentari penampilan Wahyu, sementara anak laki-laki membicarakan kota pusat. Dan aku memainkan isi kotak pensilku, bukan termasuk dari dua kelompok itu.

“Halo semuanya, namaku Wahyu Ade Cahya. Aku biasa dipanggil Wahyu.” Sapaan Wahyu seakan diiringi sinar mentari yang paling cerah. Anak-anak entah kenapa bertepuk tangan, dan aku mengikuti. Ia menebar senyum, mengangguk. Untuk ukuran anak sekolah dasar, ia terlalu tenang. Mungkin hal ini juga dirasakan teman-temanku, dan dalam kurun waktu tiga detik, Salah seorang teman sekelasku berbisik keras bahwa ia menyukainya.

Serius? Tiga detik? Ini terlalu impulsif bahkan untuk anak taman kanak-kanak sekalipun. Tiga detik yang ia lewatkan hanya untuk bernapas dan menatap sekeliling, menyesuaikan dirinya dengan lingkungan dan suasana baru. Dan dalam jangka waktu itu, seseorang menyukainya? Apakah itu definisi cinta pandangan pertama? Jika ia, maka aku akan menjadi orang yang menolak pernyataan itu.

Bukan apa-apa. Aku cukup menyukai Wahyu, dalam tanda kurung karena ia belum mengenalku sebelumnya dan ia bisa berpikir sama dengan cara berpikirku. Itu tidak menutup kemungkinan dia akan berubah dan menjauhiku, kan? Kami hanya anak SD, semua lingkungan ini hanya terlalu kecil untuk kami ubah, maka kami yang akan berubah. Rotasi lingkungan yang berbeda memaksa kita menyesuaikan diri dengan lingkungan karena variabelnya kecil, segalanya transparan disini.

Yep, terlalu dewasa untuk ukuran berpikir anak kecil, kan?

Sebetulnya aku berpikir tidak sekompleks itu, tetapi inti yang aku rasakan menyatu dengan keskeptisanku terhadap pola kehidupan.

Aku mulai cerewet, kan?

Terlalu asyik dengan pikiranku sendiri membuatku tidak sadar bahwa sesi perkenalan telah lewat. Aku terbuyar dari lamunanku begitu mendengar Pak Jal mendikte mata pelajaran yang akan kami pelajari hari ini. Seperti sekolah-sekolah pada umumnya, Wali kelas adalah guru untuk segala mata pelajaran dalam satu kelas. Dan menurutku, itu sangat keren. Guru memang sangt keren. Menjadi ahli untuk satu bidang saja sudah susah, apalagi harus menguasai seluruh bidang, belum lagi mengatur anak-anak yang belum mengerti dengan aturan. Dan yang membuat mereka lebih keren lagi, mereka memberikan harapan di tempat keputusasaan, mereka bertahan disaat yang lain melepaskan, mereka yakin disaat orang lain tidak percaya.

Pak Jal bukan orang asli kampungku. Ia berasal dari pulau sebelah. Pak Jal termasuk seorang lulusan universitas dengan beasiswa dan ia mendatangi kampungku bersamaan dengan masa ABRI Masuk Desa (ADM). Lama menempati kampungku, Pak Jal jatuh cinta pada kekeluargaan dan kebudayaan adatku. Sekarang, ia sudah menyatu dengan kampung kami, dipercaya dalam adat kampung kami, dan paling penting, ia sudah melekat dengan dunia anak-anak.

Bunyi kapur menggurat papan tulis mengembalikanku lagi dari alam bengongku. Di depan, Pak Jal merangkai judul mata pelajaran yang akan kami bahas hari ini, Ilmu Pengetahuan Alam.

Kami bergegas mencatat kalimat besar itu di buku tulis masing-masing. Sudah menjadi kebiasaan Pak Jal untuk melakukan tanya jawab di akhir kelas, ditambah satu-satunya sumber ilmu yang kami punya hanyalah Pak Jal, sehingga kami tidak bisa lengah dari satu patah kata yang Pak Jal tulis maupun katakan.

“Sekarang, kita akan mempelajari Flora dan Fauna di alam sekitar kita.” Pak Jal lalu menatap sekeliling, membetulkan letak kacamatanya. “Sudah pada tau apa itu Flora dan Fauna?”

Tumbuhan dan Hewan.

Aku menunduk, menjawab dalam hati. Sudah kebiasaanku menjawab semua pertanyaan, dan menyuarakannya di dalam hati.

Wahyu mengacungkan tangannya. “Flora itu tumbuhan, fauna itu hewan, Pak!”

“Bagus, Wahyu.” Pak Jal lalu membuat sebuah tanda panah besar dibawah tulisan Flora. “Nah, sekarang bapak mau tanya, apakah Flora dan Fauna sama jenisnya di seluruh dunia?”

Syam, salah satu anak lelaki di kelasku yang sampai sekarang masih mengompol, mengacungkan tangannya. “Sama, Pak!”

Pak Jal tersenyum. “Kenapa sama, Syamsul?”

Dia menggaruk rambutnya. “Karena bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, Pak!”

Anak-anak kelasku langsung tertawa, kecuali aku tentunya, menghembuskan napas. Berbeda-beda, aku menjawab lagi dalam hati.

“Berbeda-beda, Pak!” Wahyu kembali mengacungkan tangannya. Pak Jal tersenyum pula, mengarahkan kapur ke hadapan Wahyu. “Bisa kasih contoh, Yu?”

Wahyu mengangguk, maju dan mengambil kapur dari tangan Pak Jal. Ia lalu menambahkan tulisan ‘Berbed-beda’ setelah panah Pak Jal, lalu membuat contoh: Sumatera: Harimau Sumatera. Papua: Burung cendrawasih.

Pak Jal mengamati jawaban tersebut, kemudian bertepuk tangan. “Ayo, kasih Wahyu penghargaan karena menjawab tepat!”

Teman-temanku riuh menepuk tangannya, aku mengikuti. Pak Jal mempersilahkan Wahyu kembali ke bangkunya di sebelah Syam. Teman sebangkunya itu kembali menggaruk kepala, mengacungkan tangan kembali. “Kenapa, Syam?”

Lihat selengkapnya