Bel pulang sebelumnya belum pernah aku tunggu-tunggu untuk berdentang seperti sekarang ini. Sisa dua jam pelajaran membuatku bermenung dengan banyak hal, dan yang paling menyita perhatianku adalah kenyataan bahwa Wahyu adalah teman rahasiaku sekarang.
Aku sering bertanya-tanya mengenai keberadaan seorang teman diam-diam, seperti yang tertulis di buku-buku. Mereka sangat dekat, dan pertemanan mereka erat, tetapi hubungan mereka dirahasiakan karena perbedaan tipe. Atau karena tipe yang terkesan berbeda. Yah, walaupun tidak ada kalimat langsung yang menyatakan kami menyembunyikan hubungan pertemanan kami, secara tidak langsung aku bersikap rahasia, menolak berbicara dengan Wahyu di kelas dan bertingkah seakan kami tidak saling mengenal. Padahal jarak dudukku dengannya tidak terlalu jauh- dengan kondisi murid yang hanya berjumlah 20 orang-dan sangat memungkinkan untukku berinteraksi dengannya, tetapi keberadaan Kartika dan teman-temannya menghilangkan minatku.
Sebetulnya, aku tidak punya banyak masalah dengan Kartika. Sekolahku kecil, setiap tingkat hanya memiliki dua ruang kelas, dan untuk sebuah ukuran kampung kecil, murid yang ada tidaklah terlalu banyak. Angkatanku saja hanya memiliki 42 siswa yang kini tengah menempuh masa terakhir sekolah dasar. Namun, sedari aku kelas satu hingga kelas empat, aku belum pernah sekelas dengan gadis itu. menurut bisik-bisik teman sekelasku (yang tidak sengaja terdengar olehku karena suara mereka besar sekali) Kartika dikenal suka menindas temannya sendiri, apalagi adik kelas. Ia adalah penguasa sekolah, yang berarti jika kalian sedang bermain karet dan ia menginginkannya, kita tidak boleh menolak. Hanya ia yang boleh melakukannya, dan tidak ada yang boleh melawan.
Awalnya kejadian-kejadian buruk itu tidak menimpaku, karena aku terlalu transparan dalam kelas. Namun, semua berubah ketika aku mengetahui ia merebut buku perpustakaan yang aku pinjamkan ke Meisya. Ketika aku baru menyadari bahwa ia mengganggu adikku.
Singkatnya, Kartika tidak berani menganggu Meisya karena ia memiliki dua kakak, yaitu Kak Yati dan Tsoraya. Namun, begitu keduanya lulus, ia bertindak sesuka hati mengganggunya. Alasannya? Ia tidak menyukai cara Meisya berjalan dan asyik dengan dunianya.
Aku mengetahui hal itu karena kami duduk sebangku. Awalnya aku tidak mengerti siapa ‘Si Ikal Sipit’ yang mereka sebut, namun semua berubah ketika aku melihat buku itu, menyambungkan banyak fakta, dan marah mengetahui kenyataan yang abai aku sadari selama ini.
Setelahnya, aku kurang ingat. Tepatnya, aku berusaha lupa. Aku mengadukannya ke wali kelas, dan ia dihukum skorsing selama tiga hari, dan setelah itu ia mendiamkanku. Entah aku harus senang atau tidak, karena ia tidak mengangguku namun tetap menindas Meisya. Aku sudah berusaha menghentikannya, dan esoknya meja tulisku penuh dengan tulisan jahat dan tumpukan daun kering.
Meisya mulai berubah semenjak itu. ia memang orang yang sama di rumah, tetapi di sekolah tidak. Fokus belajarnya menurun, ia memilih tidur ketika belajar, berdiam diri di kelas, dan menjauhi orang-orang. Puncaknya ia meminta rumah pohon kepada Ayah, kemudian menutup dirinya dari dunia. Dan entah kenapa, aku di ajak olehnya menjaga markasnya, dan akhir-akhir ini aku juga menyebutnya markas-‘ku’. Disana, aku memiliki segalanya. Dan semuanya kesukaanku.
Yah, pokoknya, semenjak itu semua menjauhiku, walaupun rata-rata karena mereka takut dengan Kartika. Aku sempat pula mengurung diriku di rumah, dan semuanya sia-sia karena Ibu bukannya peka, tetapi malah mencecarku dan mengatakan aku sudah mulai menjadi pemalas. Jadi aku harus bertingkah normal dan baik-baik saja. Hal itu banyak membantu, dan tahun ini pengucilan itu tidak lagi mempengaruhiku.
Teng teng teng!!
Bunyi bel itu membuatku tersadar. Pak Jal masih berbicara beberapa kata mengenai tugas rumah kami, sementara teman-temanku membereskan peralatan belajar mereka. Aku buru-buru mengikuti, dan tersadar Wahyu mengodeku. Masih belum terlalu mengerti, gumpalan kertas meluncur ke atas mejaku. Mataku menatap ganjil kertas itu, dan aku merasa cukup antusias dengan isinya. Wahyu menulis bahwa sebaiknya aku keluar terlebih dahulu, dan ia akan menyusul lima menit kemudian.
Anak-anak segera berhamburan keluar kelas, dan aku mengekor. Dari ujung mata aku melihat Wahyu berbincang dengan Pak Jal, mengulur waktu atau mungkin murni bertanya. Pokoknya, dalam lima menit, halaman dan gedung sekolah telah bersih dari murid-murid sekolah, mereka lebih memilih bergegas pulang dan mengisi perut.
Wahyu muncul dari balik pintu kelas, melambaikan tangannya. Aku membalas, menunggu ia mendekat. Begitu ia tepat sampai dihadapanku, barulah kami berjalan bersama.
“Kamu juara umum caturwulan kemarin?” Tanyanya memecah hening. Aku mengangkat bahu.
“Mungkin.”
Wahyu tersenyum geli. “Mana ada juara mungkin.”
“Mungkin.”
Wahyu lalu mengambil ranting pohon, dan mengayunkannya. “Kata Pak Jal, jika aku memiliki pertanyaan, aku bisa belajar bersamamu?”
Aku mengangguk. “Mungkin.”
“Tolong jangan hanya mengucap mungkin.”
“Aku tidak tau semua jawaban.” Aku mengangkat bahu. “Aku rasa dulu kamu juga juara?”
Wahyu membalas dengan kata mungkin, dan aku merebut rantingnya lalu memukul punggungnya. Lelaki itu terkekeh. “Di sekolahku dulu banyak yang keturunan tionghoa, jadi mereka pintar-pintar.”
“Memangnya pintar itu keturunan?”