Di rumahku, selalu ada hal yang menarik setiap akhir minggunya. Sekolah diliburkan, dan hari pasar datang. Sabtu adalah hari terbebas yang ada, dan minggu adalah hari ternyaman yang menyenangkan. Tak pelak, dua hari libur beruntun itu sudah menjadi hari keluarga untuk kampung kami. Semua tempat rekreasi dan liburan akan dipadati ramainya pengunjung. Roda kehidupan keluarga terputar kencang pada hari itu.
Sayangnya, itu hanya buat mereka saudari dan saudaraku. Kak Tsur dan Kak Yati pulang dari kota bersama ayah, dan semua saudaraku dan Ayah serta Ibu akan bermain di rumah bersama, dan aku membawa sengkuit menuju sawah keluarga.
Rasanya tersisihkan itu nyata, apalagi mereka memang seperti tidak kehilangan dengan kealpaanku. Tentu saja hal itu memiliki banyak alasan, dan aku adalah anak yang terlalu lelah untuk protes. Bagi mereka, aku suka bekerja. Mereka tidak tahu saja, aku lelah dihindari.
Dulu aku sering menangis setiap disuruh untuk menjaga sawah ataupun pergi menjaring ikan. Kini, aku sudah menyiapkan banyak tambalan agar rasa mencelus itu tidak muncul, sama dengan tembok kokoh agar rasa rinduku tak datang. Lagipula, ingatanku akan ayah yang baik hati dan Ibu yang lemah lembut itu kosong, digantikan dengan suguhan pemandangan persis seperti yang aku impikan, yang sayangnya bukan untukku.
Tentu saja mereka mungkin memiliki banyak anak, banyak buah hati, dan aku bukan bagian dari itu. Tapi, aku wajar, kan, sedikit mengharapkan pelukan atau kecupan manis dari seseorang yang aku sebut ayah atau ibu?
Aku kini sedang bersiap-siap di halaman rumah, mengenakan kaus butut lengan panjang sebagai luaran, topi anyaman lebar untuk melindungiku dari sengat panas, serta alat bertani dan bekal makanan. Sedikit terdengar olehku gelak tawa manis dari ruang tengah. Aku semakin sibuk dengan ikatan tali topiku.
“Kak Kina harus ke sawah?” Meisya muncul, tangannya menyodorkan sebungkus cokelat. Aku tersenyum riang menerimanya, memasukkannya kedalam perbekalanku. Meisya mengingatku saja mengusir setengah dari perasaan sedih di hatiku.
“Tentu. Jika kita semua berkumpul disini, siapa yang akan menjaga sawah kita yang penting? Kan sudah kakak bilang, kakak itu pahlawan super.”
Meisya menunduk, menyenderkan badannya pada ganggang pintu. “Kakak boleh membolos sekali, menemani Meisya bermain di markas kita. Meisya juga tidak suka dengan perkumpulan seramai ini.” Sahutnya pelan.
Aku benar-benar tersenyum riang. Ucapan itu mampu mengubah suasana hatiku. Aku menepuk puncak kepala Meisya yang ditutupi rambut keritingnya yang lucu. “Eits, jangan. Kan Ayah tidak setiap hari datang ke rumah dan memberikan cokelat?”
“Meisya bisa ikut ke sawah.”
“Tidak. Terakhir kali kamu ke sawah, kamu hampir dipatok ular. Kakak tidak mau hal itu terjadi lagi.” Aku kembali menolak tegas. Meisya tampak kesal, ia memonyongkan bibirnya. Aku menghela napas, memegang topiku. “Meisya lupa? Kan, kakak menitipkan tugas penting selagi kakak pergi. Ingat?”
Mata sipitnya mengerjap, air mukanya menjadi cerah. Ia berdiri tegap, mengangguk. “Ingat! Menjaga seluruh keluarga seperti yang selalu kakak lakukan!” Meisya tersenyum, urung kembali protes. Ia menungguiku berjalan, melambaikan tangan. “NANTI MEISYA SISAKAN BANYAK COKELAT!!”
Aku mengangguk, tertawa. Kini aku dapat melangkah dengan ringan. Menuju sawah keluargaku.
Menjaga sawah tidak sesulit kelihatannya, apalagi aku yang sudah terbiasa mengerjakannya. Banyaknya gulma yang tumbuh, juga ilalang pengganggu, dapat kutebas dengan mudah. Aku juga mengecek saluran air dari aliran sungai, dan tidak menemukan masalah yang berarti. Di samping sawah juga ada kolam ikan kecil milik keluargaku, dan aku membawa makanan ikan dan menebarkannya. Dan juga, disudut kecil disamping sawah, ayahku membuat kebun kecil dengan tujuh jenis bunga dan satu kandang kelinci. Kata ayah, taman tersebut adalah keluarga kami. Aku sering bertanya mengenai itu, dan kini aku asyik duduk id dangau yang di bangun tepat di depannya, memperhatikan kebun bunga tersebut seraya memakan coklat pemberian Meisya.
Ayah bilang Kak Hayati adalah bunga Anggrek yang terletak paling depan diantara semuanya, seorang pemimpin, seorang yang patut dihormati. Kak Tsuraya adalah bunga Kacapiring putih yang melambangkan kecantikan luar biasa, dan rasa cinta yang tak pernah padam. Meisya adalah bunga Lili yang melambangkan kesederhanaan, dan pesona kerendahan hati. Aku sangat menyukai maksud itu, sangat cocok untuk Meisya yang manis.
Ayah lalu meletakkan serumpun bunga mawar berbeda-beda warna di tengah kebun kami. Ayah bilang, mereka adalah ketiga adik kembarku. Nuri adalah mawar oranye yang bersemangat, Sani adalah mawar kuning yang melambangkan antusiasme, dan Luna adalah mawar merah muda yang melambangkan lemah lembut dan manis. Lalu, kelinci adalah Rizal yang lincah, pemberani, dan penuh kasih sayang.
Aku sempat bertanya, ayah dan ibu ada di mana dalam taman itu. Ia menjawabku sambil membelai lembut surai hitamku, menjelaskan bahwa ayah adalah tanah yang menopang kami semua, menjaga dan melindungi serta ibu yang merupakan rumput yang menumbuhkan kami dari bawah dan air yang menumbuhkan kami dari atas.
Jawaban yang amat manis bukan? Ucapan dari seseorang yang kini tidak memedulikan kehadirannya setiap ia pulang. Ucapan yang selalu menyenangkan hatiku disaat ia tidak memedulikanku. Anak kecil sepertiku itu bodoh, luluh hanya karena ayah menyamakanku dengan bunga. Lupa setiap kata itu terngiang di telingaku.