Hari sudah menayangkan langit sore ketika hujan berhenti. Aku masih dalam suasana hatiku yang buruk, menolak pulang bersama. Kak Yati melihatku sinis dibarengi Kak Tsur yang tidak peduli, dan tanpa perlu bertanya dua kali, mereka meninggalkanku seakan aku bukanlah seseorang yang dapat berubah pikiran. Atau seakan aku tidak pernah merasakan sakit di hatiku.
Netraku masih setia memandangi langit sore dengan lembayung senja diatas sana. Ia tampak sangat indah seakan tidak mengizinkanku bersedih seraya menatapnya. Langit setelah dipayungi hujan akan terlihat lebih merona dari sebelumnya. Aku yang dilingkupi sakit hati apakah juga lebih menarik setelah melupakannya?
Bermonolog selalu asyik untukku, karena setidaknya aku bisa membuat dialogku sendiri, membuat kenyataan walau hanya sementara. Karena itu, aku tidak menyadari sebuah pesawat kertas melintas di depanku, lalu jatuh lembut di rerumputan.
Rasa penasaran menggelitikiku. Aku bergegas mendekatinya, kemudian membuka lipatan pesawat putih itu.
“Ayo kapan-kapan main di sawah. Aku tadi kesana, tetapi kamu sedang bermain dengan keluarga. Ah, bukan, sedang menjaga sawah, kan? Ketika aku menemanimu kesana, jangan pasang wajah yang seperti tadi.”
Senyum segera terukir di wajahku. Aku pun berbalik, mengharapkan kedatangan Sang pengirim surat.
Wajah yang terpampang tidak jauh dari ekspetasiku. Ia bergegas keluar semak-semak sambil tertawa, diekori Meisya yang tampak kesusahan dengan tangan yang penuh benda yang ia tangkupkan di depan dadanya.
“Tapi kamu sibuk hari ini?” Aku segera bertanya begitu Wahyu berhenti di sampingku. Ia tertawa sambil membersihkan lutut celananya yang kotor berdebu.
“Aku, kan, tidak sibuk seharian. Tadinya, aku ingin mengajakku mengerjakan tugas, tetapi hanya Meisya yang aku dapati di markas.”
Aku melirik Meisya begitu Wahyu mengucapkan kata markas, tetapi dia tidak berekspresi terganggu. Dalam tempo yang singkat, Meisya sudah percaya kepadanya. Yah, menurutku wajar, sih.
Meisya mendekatiku, menumpahkan barang yang ia dekap sedari tadi di dadanya. Aku tertawa takjub begitu melihat bungkusan cokelat meluncur ke tanganku. “Kenapa bisa sebanyak ini?”
“Yah, begitu mereka mengajak Ayah bermain hujan, cokelat-cokelat ini tidak lagi menarik perhatian. Ya, Meisya kumpulkan saja semuanya.” Ia menjelaskan masih dengan muka datarnya. Aku mengangguk-angguk seraya memasukkan amunisi berharga itu ke dalam buntalanku.
Mataku melirik tangan Wahyu yang tampak menyembunyikan sesuatu di punggungnya. Sebetulnya aku sudah cukup lama menyadari keberadaaanya, namun Wahyu tampaknya ingin memberikanku kejutan. Dan, aku rasa tidak baik seorang teman menggagalkan kejutan temannya, kan?
wahyu tampak menunggu aku menyelesaikan urusan dengan cokelat-cokelatku. Lalu, begitu aku mengangkat kepala, ia menyodorkan sebuah kantung di hadapanku.
“Nah, ini kejutan yang kedua!” Ia berseru riang, dan Meisya ikut pula bertepuk tangan. Aku tersenyum, dan tanpa sadar membuka hadiah itu tepat di depannya. Yah, seharusnya tata krama diberi hadiah bukanlah seperti itu. Tetapi, aku terlalu jarang diberi hadiah sehingga aku tidak tau bagaimana caranya menghargai suatu pemberian. Lagipula, kejutan ini benar-benar mengejutkanku.
“Ibuku sulit sekali, loh, mencari bahan yang berjenis seperti itu. beruntung tadi produsen kain langganan Ibuku datang, dan Ibu menemukan bahan yang itu.” Wahyu menjelaskan, sementara aku sibuk mengelus kain halus di tanganku. Tersenyum lebih lebar.
“Sebentar lagi ulang tahun Ibu. Kita bisa menjahit baju Ibu lagi, dan dihadiahkan untuk Ibu. Sudah waktunya Kakak berbaikan dengan Ibu, bukan?”
Aku menatap mereka berdua bergantian, lalu tersipu. Tak lupa aku sematkan senyum lebar disana, mengangguk-angguk riang.
“Nah, sekarang, aku tau dimana tempat kita bisa menjahitnya!” Wahyu berseru semangat, dan aku menimpali.
“Okee!”
***