Senin kembali. Semua rutinitasku juga kembali, menghapus sisa kesenangan akhir pekan kemarin.
Dua hari kemarin, aku sangat-sangat sibuk. Aku membereskan semua pekerjaan rumahku secepat mungkin, tetapi aku hanya bisa menuntaskannya tepat tengah hari. Beruntungnya, tidak ada lagi yang menginterupsi kegiatan santaiku. Aku pergi dengan Meisya dan Wahyu lagi, menikmati piknik singkat di dangau, lalu kembali menjahit.
Aku cukup tau dasar-dasar menjahit, karena sering membetulkan pakaian adik-adikku. Namun, untuk baju ini, aku harus ekstra hati-hati karena aku bukanlah menambal, melainkan membuat, dan aku tidak ingin memberikan kain yang berantakan kepada Ibu. Nek Ipit tidak bisa menemani, karena Minggu juga merupakan hari pasar di kampungku. Beruntung, kunci kini sudah sepenuhnya di pegang Wahyu, dan kami bebas menggunakannya secara bertanggung jawab.
Sepulang dari menjahit, aku membantu Ibu membereskan belanjaan. Ayah baru akan pulang sorenya, sehingga Ibu memilih untuk memasak ketimbang menyuruhku. Aku dapat sedikit santai sore itu, dan bermain di markas dengan Meisya.
Pagi ini, adik kembarku bertengkar. Seperti biasa, mereka memperebutkan urutan mandi. Dan masalah selesai begitu aku menemani si bungsu mandi. Ibu juga membuat sarapan yang lezat, jadi seharusnya hari Seninku itu mulus-mulus saja.
Tetapi, semuanya musnah begitu Pak Jal memulai pelajaran IPA, dan masih membahas flora dan fauna. Seperti biasa, setiap pertemuan kedua, Pak Jal akan memberikan tugas kelompok untuk praktek, dan sialnya, kami harus berpasangan dengan teman sebangku.
Aku menghela napasku diam-diam, berusaha menyembunyikan suara dari embusan napas yang aku keraskan. Kartika tidak perlu menyembunyikan rasa kesalnya, segera berbalik dan mencak-mencak dengan dua pengikut setianya. Aku melemparkan pandanganku ke rumah jahit Nek Ipit, berusaha mengabaikannya.
“Kina, aku sama Wahyu saja, ya?”
Wajahku menampilkan raut terkejut untuk banyak alasan. Pertama, kenapa Kartika meminta izin kepadaku untuk berkelompok dengan Wahyu? Aku bukanlah Ibunya, Adiknya, Saudarinya, atau siapapun. Dan kedua, sekalipun itu menunjukkan bahwa ia tidak ingin sekelompok denganku, setidaknya ia tidak harus bersikap seaneh itu meminta izin. Dan terakhir, dan sepertinya itu mendominasi rasa terkejutku, Kartika mendadak memanggil namaku dan meminta izin, yang kurasa tidak pernah ia lakukan dua tahun belakangan ini.
Aku masih tampak terlalu sibuk dengan pikiranku, sehingga Tika memukul pelan permukaan mejaku. Ia lalu menatapku lagi dengan malas.
“Dengar, tidak? Aku akan sekelompok dengan Wahyu, jadi kamu harus sekelompok dengan Syamsul, ya?”
“Kenapa?”
Aku bertanya datar. Tetapi kelihatannya yang keluar lebih datar dari yang kumaksudkan. Raut wajah Kartika mengeras, dan aku dapat melihat ia berusaha menahan amarahnya.
“Aku suka Wahyu.”
Aku mangut-mangut. Sedikit asing dengan percakapan pendek seperti ini. Apakah wajar anak SD melakukan obrolan tidak penting di sela-sela pembelajaran dan penjelasan guru?
“Aku juga.” Aku menjawab pelan, masih mengangguk-anggukkan kepalaku. Kartika menatapku heran, dan aku tidak mengerti apa yang ia herankan.
“Pokoknya aku akan sekelompok dengan Wahyu.” Kartika lalu menolehkan kepalanya kembali, mengacungkan tangan tinggi-tinggi.
“Ya? Kenapa, Kartika?”
“Pak, saya ingin sekelompok dengan Wahyu, Pak!”
Pak Jal tersenyum maklum. Apalagi ia ikut tersenyum melihatku yang bingung. Aku tersenyum pula melihat Pak Jal tersenyum padaku.
“Apa Tika tidak ingin sekelompok dengan Sakinah?”
“Iya, Pak. Tika bilang ingin sekelompok dengan Wahyu.” Aku mencoba meluruskan percakapan, menjawab Pak Jal. Kartika melirikku terkejut, diikuti oleh seluruh temanku. Aku mengangkat bahu, balik melirik.
Pak Jal tersenyum paham. Ia melipat tangannya di depan dada, menoleh kea rah Wahyu yang mengulum senyum menertawakanku. “Wahyu dan Syamsul, kalian ingin pisah kelompok?”
Syamsul menolak, begitu pula Wahyu. “Kami malah sudah merencanakan penelitian kami, Pak!” Syamsul berseru lantang. Wahyu hanya mengangguk, menyetujui omongan Syamsul. Kartika berseru, menghempaskan pantatnya kembali ke bangku. Aku memerhatikan, bertanya-tanya apa ada yang salah dari penolakan itu.
“Cih, nyebelin.”
Aku kembali melayangkan pandanganku ke jendela.
***
Aku mengeratkan tali tas ranselku, memerhatikan pasang kaki yang melewatiku. Telapakku menghalau sinar matahari yang berusaha mencari celah untuk menyengat kulit wajahku. Dan, pikiranku tidak sabar dengan menunggu kedatangan Tika.
Keputusan Pak Jal berakhir dengan cepat. Aku dan Tika harus sekelompok walaupun kami sama-sama menolak. Tika mengadu dengan suara yang lebih kencang dengan teman-temannya, dan tentunya isinya membicarakanku. Aku mengadu pula kepada Wahyu di perpustakaan, dan ia hanya menertawaiku.
Aku dan Tika diberi tugas untuk mengamati vegetatif pepohonan yang ada di kampung kami. Sebetulnya itu mudah, karena aku rasa setiap anak di kampungku hafal dengan benda-benda di daerahnya. Tetapi Pak Jal bersikeras agar kami dapat menemukan satu pohon khas kampung kami, yang aku pun tidak mengetahui apa itu.
Kami berjanji untuk bertemu di gerbang depan sekolah tepat pukul dua belas. Itu cukup untukku untuk mengganti baju dan menyiapkan makan siang. Yah, untungnya Ibu sudah memasak hari ini. Sehingga, waktu pertemuan tidak memiliki masalah dan Tika tidak perlu menyindirku lebih lama.
Namun, sudah lima belas menit berlalu, Tika tidak juga menampakkan batang hidungnya. Aku menyandarkan badanku ke pagar bambu sekolah, malas. Akhirnya aku memerhatikan Mbok Ti yang sibuk membereskan jualannya.