(Not) Sister

Yamsyina Hawnan
Chapter #12

Bagian dari ketika semua permusuhan itu luntur

Selang beberapa hari, kabar tersebut mulai beredar. Apalagi dalam kampung kecil yang sudah tidak ada batas. Cerita tersebut beredar dengan cepat, sekalipun Nek Ipit memilih untuk tidak berkomentar dan Kepala Kampung juga memilih untuk menutup mulut.

Keadaan di sekolah juga tidak terlalu menyenangkan. Tika mendadak tidak memiliki teman dan gadis itu menjadi dua kali lebih galak dari sebelumnya, dan tentunya Meisya menjadi sasaran. Aku benar-benar geram begitu melihat luka gores tertoreh di pipi Meisya. Wahyu dan Meisya harus menahanku mati matian, apalagi Meisya yang teringat kejadian dua tahun yang lalu.

Aku terpaksa menahan kekesalanku. Dan sebetulnya, aku merasa sedikit kasihan kepadanya. Yah aku tau bahwa seharusnya aku tidak memberinya rasa maaf sekalipun di dalam hatiku, tetapi seumur hidup diabaikan dan dibiarkan sendirian membuatku merasa harus menghargai seseorang yang bemasib sama denganku. Dan, sekalipun itu adalah Tika yang terkenal garang dan memiliki banyak catatan buruk denganku, setiap manusia tentunya tidak ingin merasa sendiri.

Hari ini, seharusnya menjadi hari aku melanjutkan penelitian dengan Tika. Namun, lagi-lagi, akhir-akhir ini semuanya terasa asing dan aneh Teman-teman Tika yang sebelumnya ikut-ikutan mengacuhkanku dan sesekali mengganggu Meisya, kini mendadak baik kepadaku dan mengajakku berbicara beberapa kali. Walaupun aku merasa sedikit risih, namun Tika yang duduk di sampingku seakan-akan tidak peduli.

Aku masih asyik memandangi jendela begitu bel berbunyi. Tentu aku harus menunggu beberapa saat agar kerumunan di pintu menghilang, dan lagi, aku masih asyik mengamati rumah jahit Nek Ipit, atau tepatnya memikirkan nasib bajuku di dalamnya.

"Sakina, ke Kantin Mbok Ti, yuk?"

Fanni dan Sari, dua karib yang sebelumnya menjadi teman Tika, menyentuh bahuku, tersenyum. Aku melongo, dan secara reflek menoleh kepada Tika di sampingku.

"Hah? Kalian ngajak siapa? Tika, kan ?

"Bukanlah kami ngajak kamu." Fanni kembali tersenyum. Sari mengangguk membenarkan.

"Ehm. Sori, ya, aku gak lagi ingin ke kantin." Aku menolak, entah itu termasuk halus atau bukan. Sari dan Fanni mangut-mangut, kini melirik Tika yang tampak acuh tidak acuh, menelungkupkan kepalanya di meja.

"Kalau Tika? Kamu mau ikut kami?" Kini Sari melirik Tika, bertanya pelan. Gadis itu mendengus. Lalu, menggebrak meja.

"Kan udah aku bilang gak usah sok baik sama aku! Munafik!" Tika berseru kencang. Dan untung saja kondisi kelas hanya menyisakan kami berempat. Sari dan Fanni tampak tertegun, apalagi aku yang baru pertama kali melihat pertengkaran antar teman seperti ini.

Aku membersihkan tenggorokanku, berseru canggung. "Sari, Fanni, aku ikut, deh." Mereka mengangguk riang. Aku beranjak, meninggalkan kursiku seraya melirik Tika yang kini kembali menelungkup.

"Maaf ya, Kina. Soalnya, sudah beberapa hari ini Tika menjauhi kami, dan menyebut kami munafik."

“Kenapa dengan Kartika?” Aku akhirnya bertanya. Terlalu lama menahan rasa penasaran itu tidak baik, menurutku.

Fanni dan Sari tampaknya tidak menduga aku akan bertanya mengenai itu. Dan aku juga masih tampak tenang, menyusun banyak kemungkinan, atau bahkan perencanaan. Yah, tergantung kondisinya.

“Sebelum itu, apakah kamu mau memaafkan kami?”

Aku mengangkat sebelah alisku, melipat tanganku, dan segala macam gestur bertanya sekaligus menolak yang aku ketahui. Yah, sekalipun aku menerima ajakan mereka, bukan karena kau murni ingin pergi bersama mereka. Pikiranku terkadang memikirkan kemungkinan dua kali lebih dulu, dan sebagai langkahnya, maka aku menuruti ajakan mereka. Lagipula, aku ingin mengorek informasi pada mereka. Dan yang paling penting, aku berbuat baik akhir-akhir ini kepada Tika bukan berarti aku memaafkannya. Setidaknya, aku akan memaafkan mereka jika mereka tidak menganggu Meisya lagi.

Fanni menjadi salah tingkah karenanya. Ia lalu meremas ujung roknya, akhirnya menjawab.

“Kamu tau, tidak, isu-isu tentang masalah warung Nek Ipit?”

Aku mengangkat sebelah alisku lagi, menggeleng. Bukan apa-apa, jika kita sedang mengorek informasi, menjadi pihak netral yang tidak tahu apa-apa justru akan memudahkan kita mendapat informasi detail. Karena, orang-orang akan beranggapan bahwa kita adalah orang awam, tidak tahu menahu dan tidak berhubungan sama sekali dengan masalah tersebut, sekaligus tidak peduli.

Fanni menjelaskan masalah tersebut secara rinci, yang sudah aku dengar pula dari Wahyu. Sari hanya diam, menunggu kami berbincang.

“Sejak hari itu, Kartika jadi menjauhi kami berdua. Ketika kami bermain ke rumahnya, dia akan berteriak menyuruh kami menjauh. Juga berpura-pura tidak mendengar seperti tadi, mengacuhkan kami.”

Aku masih setia mendengarkan Fanni begitu Sari mengguncang bahu kami berdua. Aku baru saja menoleh saat melihat kerumunan berkumpul di lapangan, dan semua murid dari penjuru sekolah berlarian mendekat. Sari menarik Fanni mendekat, dan aku terpaksa mengikuti.

“Tadi aku lihat Tika yang dilapangan.” Gumam Sari. Mendengarnya, kami bertiga memacu langkah, memastikan.

Tika sedang berdiri di lapangan, di hadang oleh tiga orang murid perempuan kelas sebelah dan seorang murid laki-laki. Mereka berbicara keras, berteriak, dan berseru-seru, sambil sesekali mendorong bahu Tika dengan kencang. Dan untuk pertama kalinya aku melihat Tika tidak melawan, walaupun wajahnya tampak memerah menahan marah, dengan tangan terkepal di sebelahnya.

“Kenapa sih, ada murid seperti kamu di sekolah kita? Mana ada murid pencuri seperti kamu!” Seorang anak dengan kepangan mendorong Tika lagi. Aku menonton seraya membayangkan posisi Meisya ketika Tika melabraknya.

“Iya! Mencuri itu, kan! Sifatnya setan! Berarti kamu,,,,”

“Setan, dong!” temannya menyambung perkataan tersebut, lalu mereka tertawa serempak. Seorang cowok yang ikut melabrak Tika meliriknya sinis. Aku terkejut bahwa seorang anak kecil bisa mengeluarkan ekspresi sekejam itu.

“Kenapa, sih, kamu mencuri? Memangnya bapak kamu gak mengasih kamu uang? Atau, jangan-jangan bapak kamu pencuri juga! Soalnya, kalau anaknya setan, berarti orangtuanya juga setan, dong?”

Aku merasaka denyut sakit di dadaku yang menghantam begitu mendengar kata-kata tersebut. Untuk anak sekecil kami, orangtua adalah segala-galanya. Bahkan untukku yang tidak mendapat perhatian dan kasih sayang dari mereka, namun hatiku akan tetap sakit mendengar perkataan sejahat itu. Apalagi Tika yang harus menerima perkataan tajam itu di lontarkan untuknya. Sekaligus membuatku menyadari sesuatu.

Lihat selengkapnya