.Aku menyentuh permukaan lemari-lemari dapur yang kosong. Sudah beberapa hari ini tidak ada makanan di dapur. Tidak ada yang bisa kumakan, atau sekalipun ku minum. Berkali-kali aku bertanya kepada ayah mengenainya, dan ayah hanya memukulku setelah itu.
Aku benci, benci dengan ayah yang menyalahkan kematian ibu untuk kemalasannya. Benci dengan keluarga miskin kami. Benci dengan utang-utang kami. Benci dengan penyakit yang menggerogoti tubuh Ibu. Benci dengan kehidupanku.
Aku menyentuh pakaian yang melekat di badanku. Sudah beberapa hari ini aku memakai seragam SMA-ku. Semenjak ayah menyerahkan surat keluar sekolah, aku belum berganti pakaian. Beberapa alasannya karena tidak ada lagi air yang mengalir dari keran-keran rumahku.
Langkahku tertatih melewati pintu rumah. Mataku sudah bengkak dengan dua lingkar hitam di bawahku. Aku dapat melihat cekungan pada pipiku melalui pantulan jendela. Ah, debunya sudah melekat lagi. Aku seharusnya membersihkannya, tetapi aku tidak memiliki air untuk itu.
Bengkel di sebelah rumahku juga sudah memproduksi banyak rumah, yang menempel di setiap sudutnya. Belum lagi tumpahan oli yang sudah terlalu lama dibiarkan, sampah makanan yang mungkin sudah menghadirkan makhluk di dalamnya, dan juga alat-alat perkakas yang berserakan di dalamnya.
Dengan perut nyeri, aku melirik kolam ikan keluarga kami. Baunya sudah busuk, airnya sudah keruh. Padahal sebelumnya, kolam itu adalah tempat favoritku untuk melakukan piknik kecil-kecilan, bersama Ibu. Ayah akan datang nantinya, jahil mengotori wajah kami dengan oli. Lalu setelahnya, kisah bahagia itu akan selalu ditutup dengan tawa.
Kenapa aku harus terlahir begini? Tidak ada yang menjadi temanku karena Ibu sakit. Tidak ada yang mau mendekatiku karena anak preman itu. Tidak ada yang datang menjengukku atau sekalipun mendatangi pemakaman Ibu.