(Not) Sister

Yamsyina Hawnan
Chapter #14

Ketika Kak Yati pulang

Aku sedang duduk di depan markas saat aku mengingat kejadian pertama kali Kak Yati pergi. Bukan apa-apa, sedikit banyaknya, kepergian Ayah Tika ke penjara membuatku belajar banyak definisi pergi. Yaitu, pergi sementara untuk kembali, pergi selamanya untuk pergi, atau pergi sementara tanpa kembali.

Kak Yati berada di definisi terakhir. Aku juga tidak terlalu paham dengan definisi itu, tetapi kepergian Kak Yati sudah jelas bukan bagian dari dua definisi pertama. Dan tidak ada lagi kemungkinan terbaik selain pilihan terakhir.

Ingatan pertamaku mengenai Kak Yati adalah ia memberikanku gelas bewarna kuning. Meisya dan adik kembarku telah lahir, tetapi yang masuk dalam bingkai memori itu hanyalah Kak Yati dan Kak Tsur. Mereka memegang gelas yang memiliki bentuk yang sama denganku, dengan warna hijau di tangan Kak Yati, dan Kak Tsur memegang gelas oranye. Kami lalu tertawa dan meletakkannya di rak piring. Yang paling ku ingat adalah, Kak Yati bilang bahwa kami bertiga adalah saudara perempuan, dan tiga saudara perempuan selalu keren ketika membentuk geng.

Aku selalu meniru Kak Yati. Ia adalah sumber inspirasi pertamaku. Ketika Kak Yati menulis sebuah cerita, aku juga menulis cerita yang mirip dengan ceritanya, ditambah dengan kehadiran seorang kakak keren disana. Ketika Kak Yati mulai menggambar, aku menggambar keluarga kami dan Meisya sangat menyukainya. Ketika Kak Yati mulai memiliki teman, entah kenapa aku tidak dapat menirunya. Dan semenjak itu, semua hal mulai berbeda diantara kami.

Kak Yati meminta sebuah meja gambar dengan alat gambarnya, dan ia mendapatkannya. Aku meminta buku bekas dengan halaman tersisa, dan tidak ada yang mengabulkannya. Kak Yati hanya berpaling dariku begitu aku meminta kertas.

Kak Yati meminta sebuah sepeda manis dan ia mendapatkannya. Kak Tsur mengikuti sebuah perlombaan hari kemerdekaan dan mengincar hadiah utama yaitu sepeda, dan ia mendapatkannya. Aku membantu Ibu merawat ketiga adikku sekaligus meraih juara satu, dan begitu aku meminta plastisin mainan, tidak ada yang memedulikannya. Kak Yati berpura-pura aku tidak ada di dekatnya saat aku meminjam mainannya.

Kak Yati meminta sebuah mesin jahit dan mendapatkannya. Aku meminta boneka baru untuk menemani tidur, dan Ibu menyuruhku membuatnya sendiri. Kak Yati meminta disediakan banyak jenis kain dan mendapatkannya. Aku meminta kaus kaki baru untuk kaus kakiku yang memiliki bolong di jarinya, Ibu berkata aku bisa menjahitnya. Aku meminjam mesin jahit kepada Kak Yati, dan ia hanya menertawaiku sinis.

Lama kelamaan, begitu banyak yang Kak Yati dapatkan. Dan betapa semuanya sesuai dengan keinginannya. Kak Yati ingin membentak Ibu, dan ia mendapatkannya. Kak Yati ingin melimpahkan semua pekerjaannya kepadaku, dan ia mendapatkannya. Kak Yati ingin memaksa Ayah agar menurutinya, dan ia mendapatkannya. Kak Yati ingin menjauh dariku, dan ia mendapatkannya. Aku hanya ingin mendapatkan Kakakku kembali, bahkan jika itu hanya senyumnya, dan aku tidak mendapatkannya. Kak Yati berteriak begitu keras begitu aku memintanya tersenyum untukku.

Aku tau kenapa Kak Yati membenciku. Karena aku membohonginya. Karena aku bilang aku adiknya dan ternyata bukan. Karena aku bilang aku saudarinya dan ternyata aku dusta.

Apakah kebohonganku itu patut ia benci?

***

Akhir minggu lagi. Wahyu pergi dengan Ibunya ke kota pusat, mencari kain. Sekaligus melihat keluarga mereka yang masih disana. Aku hanya mengangguk begitu ia berpamitan kepadaku. Tika dan kedua temanku sudah bergegas menarikku bermain.

Aneh, kan? Semuanya mendadak berubah. Fanni dan Sari adalah teman-teman yang setia. Aku juga sudah memaafkan Tika, selain karena Meisya telah memaafkannya, mustahil aku tetap marah kepadanya setelah selama itu. Belum lagi Tika berhubungan baik dengan Ibu, setiap hari bermain ke rumah kami. Dan Tika benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat kepadaku. Terbiasa banting tulang di rumah, Tika sangat lihai dengan kegiatan membersihkan rumah. Karena itu, ia sangat sering membantuku. Ia tidak memiliki banyak kain untuk dicuci, atau lantai untuk dibersihkan, karena Nek Ipit memiliki seorang pembantu. Oleh karena itu dia membersihkan lantaiku atau mencuci bajuku.

Meisya memperlihatkan markasnya kepada Tika, tetapi tidak kepada Fanni dan Sari. Kami hanya bermain ketika di sekolah, dan juga mereka tidak terlalu dekat dengan Tika. Tika itu lumayan pintar, ia sangat antusias dengan berbagai penemuan yang Meisya buat.

Berhari-hari setelahnya, barulah aku memperlihatkan ceritaku. Aku memperbolehkannya membaca ketika kami berkumpul di perpustakaan. Ia benar-benar menghargai tulisanku, dan menambahkan banyak detail di dalamnya. Aku juga tidak menyangka Tika menyukai dunia literasi, dan ia benar-benar pandai. Tidak perlu waktu lama hingga kami berdua mengadakan proyek menulis bersama.

Aku sedang asyik memakan kerupuk sambil menggambar untuk sampul buku kami. Meisya dan Tika sedang menguji penemuan terbaru mereka, masih tentang makanan burung di atap. Sawah kami dijagai oleh pemilik lahan sebelah, sehingga akhir minggu ini termasuk langka untukku. Meisya dan keempat adikku yang menyadari itu juga membantuku mengerjakan tugasku. Kini, mereka pergi ke sawah dan bermain dengan kelinci.

Ayah dan kedua kakakku tampak datang terlambat. Biasanya, pukul tujuh pagi ayah sudah sampai di pekarangan rumah kami, menekan klakson berkali-kali. Namun kini, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi dan ayah belum juga muncul.

“Apa jalanan sedang macet?” Meisya akhirnya bertanya. Aku menoleh, menemukan wajah Meisya dari balik jendela. Aku mengangkat bahu seraya tetap asyik menelungkup.

“Tidak tahu.”

“Kenapa jalan kampung sepi seperti kita bisa macet?” Tika balik bertanya, dan pertanyaannya cukup masuk akal. Meisya menggaruk rambut ikalnya, nyengir. Akhir-akhir ini dia suka nyengir, dan aku tau niatnya untuk memamerkan giginya yang ompong. Sebetulnya cukup membingungkan juga karena aku tidak tau apa yang membanggakan dari giginya yang lepas itu, tetapi aku dan Tika tetap memujinya, walau setelah itu kami tertawa bersama.

Aku melakukan banyak hal, dan itu bersama-sama dengan kedua temanku. Sebetulnya, memiliki teman saja sudah banyak hal, dan kini aku punya teman dekat, tidak hanya satu, tetapi dua. Kesendirian yang dulu mengukungku pasti menangis mendengarnya.

Aku pergi dengan Tika berboncengan dengan sepeda, diikuti Fanni dan Sari, lalu Wahyu dan Meisya di sebelah kami, menuju sungai besar tempat anak kampung kami biasa bermain. Di dekat sana ada pabrik kue yang di takuti anak-anak, sehingga tidak ada yang berani masuk. Tetapi Wahyu dengan santainya masuk dan mengajak kami. Bapak pemilik pabrik itu senang, dan berjanji akan selalu memberi kami kue gratis setiap datang. Kami tertawa riang.

Lalu, kami mendatangi rumah gonjong Fanni. Di kampungku, rumah gonjong memang masih ada, tetapi fungsinya tidak lagi sebagai rumah utama seperti masa dulu. Akan dibangun rumah di sebelahnya, dengan semen dan bata, lalu dibangun menempel dengan rumah gonjong. Keluarga Fanni masih merawat rumah gonjong mereka, dan untukku sendiri itu adalah pengalaman menyenangkan. Ibu tidak seperti biasa mengizinkanku untuk menginap sehari di sana, dan kami bersenang-senang di dalamnya.

Lihat selengkapnya