Meisya mengantarkan selimut dan bantal-bantal ke markas, tanpa berucap sepatah kata untukku. Dia sedang marah untuk kesalahanku versinya. Kesalahan kenapa tidak mengajaknya marah bersama. Dan aku benar-benar menyayanginya untuk itu.
Aku menerima selimut itu dalam diam. Masih diam pula. Tidak ada yang dapat mengajakku pulang, sekalipun Ayah yang selama ini selalu berhasil meluluhkanku. Persoalan ini lebih besar daripada mulut manis Ayah, dan aku benar-benar kecewa.
Pak Jal selalu ku anggap lebih dari Ayah sendiri. Beliau benar-benar pengertian, dan segala sifat yang tidak Ayah miliki. Beliau benar-benar mengerti dengan keadaanku, atau yang kuanggap seperti itu. Beliau tidak memarahiku di dalam kelas, karena mengetahui aku menghormati ilmu. Tidak memarahi Tika, karena tau Tika menyayangiku sejujurnya. Tidak menyerah dengan keterbatasan kampung kami, yang membuat ia harus mengajar di jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah pertama sekaligus. Dan keduanya benar-benar terkendali sempurna, tidak kacau dan bersinggungan.
Aku kira, aku dapat mempercayainya. Walaupun bukan percaya dengan memberitahu semua perasaanku, setidaknya aku dapat menyamankan diriku di sekitarnya, dan dapat merasa aman di dekatnya. Tidak seperti Ayah, aku selalu sakit di dekatnya, atau Ibu, aku selalu sedih di dekatnya. Ia benar-benar seseorang yang aku percaya, namun sayangnya Pak Jal tidak memercayaiku balik. Atau mungkin beliau hanya menganggapku sebagai murid kecil yang menyedihkan, dan membuatnya kasihan.
Tangga markas bergoyang lagi. Aku bersiap menutup telinga, begitu aku mendengar suara yang begitu familiar dan aku rindukan sepanjang hari ini.
“Na? Apa kamu juga akan mengusirku?”
Ia mengetuk pintu. Masih merasa perlu izinku. Dan aku memutuskan untuk mengabaikannya, walau aku membutuhkannya sekarang. Aku memang bodoh dan tidak dewasa.
“Kina?” Suaranya masih terengah-engah. Ia tidak lagi mengetuk pintu untuk beberapa saat, lalu tiba-tiba mendorong pintu.
Aku hanya diam, walau rasa kesal membumbung di kepalaku, dan walau sesungguhnya di dalam hati aku senang dengan kedatangannya. Wahyu tersenyum melihatku yang duduk rapi, duduk di sampingku.
“Maaf aku menerobos masuk. Aku kira kamu tertidur.”