(Not) Sister

Yamsyina Hawnan
Chapter #15

Ketika Ibu menangis

Begitu aku kembali ke rumah, memandikan adik-adikku sekaligus mencuci babak dua, rumah benar-benar tenang. Ibu dan Ayah tampak berbincang tenang di beranda rumah, menyesap teh dan kudapan kecil. Ayah tersenyum, memeluk Ijal mendekat, sekaligus mengajak adik kembarku bermain. Aku menghindar, menjemur handuk-handuk sekaligus mengangkat kain yang telah kering dan menjemur kain lagi, sementara Ibu hanya diam sembari tersenyum sesekali. Aku menunduk, menumpuk kain untuk kusetrika.

“Kina.”

Ibu mendadak berdiri di depanku, di saat aku sedang mengatur suhu untuk setrika kami. Setrika yang masih menggunakan arang cukup menyusahkan, tetapi aku sudah terbiasa, sehingga aku tidak terlalu kepayahan, kecuali jika serbuknya berterbangan dan akan membuat pakaian bolong sehingga aku harus ekstra teliti untuk itu.

Aku menoleh, masih memasuk-masukkan arang ke dalam rongga yang dibuat. Ibu memerhatikanku, lalu membuat gerakan tangan yang menyuruhku pergi. “Biar Ibu yang lakukan.”

Aku diam dan menurut. Tentu saja aku senang bisa tidak menyetrika hari ini. Aku masih harus menyelesaikan jahitan baju untuk Ibuku, dan jika aku lalai sehari saja, maka akan lebih banyak waktu yang aku perlukan untuk menjahitnya. Sehingga, ucapan Ibu benar-benar suatu hal yang ajaib untukku.

“Kina ke rumah Nek Ipit dulu, ya, Bu?”

Ibu mengangguk. Meisya masih asyik dengan majalah bekas yang Ayah bawakan. Adik-adikku asyik bercanda dengan Ayah, sehingga sepeda kami menganggur di halaman. Aku menaikinya, mengayuh sepedaku.

Tika sedang tidak di rumah. Aku terpaksa menuju rumah jahit sendirian. Wahyu sudah menitipkan kuncinya kepadaku, sehingga aku tidak perlu menyelinap rumahnya untuk masuk, walaupun aku juga tidak berani.

Pintu terdengar berdirit, dan gemanya memenuhi ruangan. Aku menutup pintu dengan hati-hati, lalu bergegas masuk. Hanya ada satu mesin jahit yang memiliki tumpukan kain, dan itu milikku. Nek Ipit tampaknya juga memakai mesin tenun, benang-benang halusnya bertumpukan. Aku ingin belajar tenun suatu saat, dan Nek Ipit berjanji akan memberikanku salah satu mesinnya. Aku tersenyum, mengingat akan seheboh apa Kak Yati mengetahui masih ada mesin tenun di kampung kami.

Aku membuka jendelanya perlahan, namun tidak menyingkap kain putih tipis yang menutupinya. Aku suka saat angin menampar lembut kain itu, dan kainnya bergoyang, menari mengikuti arus. Belum lagi dengan cahaya yang berusaha menerobos celah, ia tampak sangat indah begitu berhasil menelusup masuk, dan semuanya akan sangat menenangkan bagiku.

Bunyi mesin jahit mulai beradu dengan goyangan kakiku. Bentuk bajunya sudah mulai tampak, dan aku cukup puas dengan hasilnya. Ibu tidak terlalu menyukai pakaian yang memiliki banyak aksesoris, sehingga blus putih polos saja sudah menjadi hadiah yang bagus untuknya.

Mesjid kampungku masih ramai. Apalagi ada pemandian di dekatnya, suara ribut anak-anak ditambah cipratan air terdengar ramai. Juga sepeda-sepeda yang saling menekan bel, bersahut-sahutan. Aku cukup jarang berkumpul seramai itu, tetapi Wahyu suka bermain bersama, dan jika dia sedang di kampung kami, dia pasti termasuk rombongan yang bermain sepeda sekarang.

Aku sudah satu jam duduk dan fokus dengan baju jahitanku. Pinggulku sedikit kesemutan karena aku tidak berganti posisi sama sekali. Aku merenggangkan ototku, memilih berkeliling.

Lihat selengkapnya