Aku terbangun, dan aku rasa aku terbangun lebih dulu dari siapapun. Belum ada cahaya, belum ada kokokan ayam, belum ada bunyi kentongan yang dipukul sepanjang jalan untuk membangunkan sholat.
Selimut Meisya masih menutupi badanku, dan banyak lagi tumpukan kemul dan kain, dan aku yakin Meisya mengantarkannya ketika aku tertidur. Pintu sudah di kunci, dan Meisya menyelipkannya di celah yang hanya kami ketahui. Aku meraihnya, membuka pintu sambil membawa tumpukan kemul.
Lampu rumahku tampak masih remang, pertanda sudah ada yang bangun saat itu. Aku mendorong pintu, dan ternyata pintunya tidak terkunci. Ayah tampak tertidur di sofa ruang tamu, membuka matanya mendengar derit pintu, kemudian tersenyum lebar melihat kehadiranku.
“Aku tidak peduli lagi.” Ujarku begitu melihat mulut terbuka Ayah. Aku menaruh tumpukan selimut, kemudian berjalan memasuki kamar.
Kak Tsur dan Kak Yati tampak mengisi kasur masing-masing, masih tertidur dengan napas teratur. Aku menyentuh kunci di sakuku, kembali pergi keluar rumah.
Aku tidak tau berapa lama aku di rumah jahit, karena matahari sudah naik ketika aku menyelesaikan hampir dua pertiga dari jahitanku. Bentuk bajunya sudah terlihat, dan aku cukup puas dengan kerapian jahitannya.
Hari Minggu berjalan seperti biasa. Aku kembali ke sawah, ditemani Fanni, Sari, Tika, dan Wahyu. Meisya tetap tinggal, dan dia berjanji dia akan ikut marah sepertiku. Aku mengusap rambut lucunya, tertawa.
Aku duduk di dangau, mengamati taman bunga itu lagi. Kabar baik, kelinci kami hamil. Ijal heboh sekali kemarin, dan bertanya-tanya apakah ia akan seperti kelinci itu juga, memiliki perut buncit. Mereka tertawa bersama, dan aku tersenyum kecil melihat Kak Yati ikut tertawa disana, walau masih dengan suara lemah.
Tika dan kedua temannya mencari ikan, memancing bersama. Wahyu bermain di pematang sawah, bersikeras bahwa ia melihat ular dan mencarinya.
Hari beranjak siang, dan kami membuka perbekalan kami. Jika aku hanya berdua dengan Wahyu, kami akan melewatinya dengan tenang, karena baik aku ataupun dia tidak cukup cerewet untuk berbicara di sela-sela kunyahan kami. Tetapi, Fanni dan Sari adalah gadis kebanyakan, dan mereka sudah berbincang mengenai setengah dari populasi anak perempuan di kelas kami menyukai Wahyu.
“Aku tau.” Ucapnya ringan, dan aku tersedak mendengarnya. Tika sudah merah padam, memukul ringan pundak kedua temannya.
“Aku sekarang tidak menyukai dia, kok!”
Aku meneguk air minumku, menyeka tetesan airnya yang mengalir di sudut bibirku. Wahyu merogoh sakunya, menemukan selembar tisu, dan menyerahkannya kepadaku. Aku menerimanya, mengusap sudut bibirku.
“Nah, Wahyu, siapa yang kamu sukai?”
Wahyu merebut potongan tahuku, lalu menoleh tersenyum. “Apakah hal itu penting?”
“Ya iyalah!” Mereka berseru semangat.
Wahyu mengunyah tahuku, dan aku cemberut melihatnya. “Yah, kan tema perbincangannya siapa yang menyukaiku, bukan siapa yang aku sukai. Tapi, sepertinya aku tau siapa yang aku sukai.”