Ada satu hal yang aku pahami. Serumit apapun suatu hari, seaneh apapun, dan semenyakitkan apapun, mereka akan menjadi masa lalu nantinya. Setidak rela apapun kita hari itu pergi, semenyenangkan apapun kita melukiskan memori, ia akan menjadi sesuatu yang lampau nantinya, dan tetap disana entah kita mengingatnya ataupun tidak.
Masa lalu tidak selalu menjadi jawaban, sekalipun semuanya yang datang adalah pertanyaan. Masa lalu tidak selalu menjadi kemudahan, sekalipun yang kita temui adalah kerumitan. Masa lalu tidak selalu menjadi obat, separah apapun luka yang kita hadapi.
Maka, sebingung apapun aku kemarin, aku sudah melewatinya. Sudah berhari-hari terlewati, dan sekalipun itu membingungkanku, itu masa lalu. Dan semua yang berada di masa lalu tidak sepatutnya aku bawa menuju masa depanku.
Anehnya, Pak Jal mengangkut semua masa lalu itu di pundaknya, dan memintaku membawanya pula.
Seakan tau aku juga melakukannya.
Aneh, bukan? Aku memahami segalanya tentang masa lalu, dan aku masih melanggar peraturannya. Aku masih membawanya di pundakku. Dan, menjaganya agar tidak lepas.
“Kina, mau memaafkan Bapak?” Ia bersuara.
“Tentu.”
“Memercayai Bapak?”
“Tentu tidak.”
“Lalu apa harga memaafkan jika tidak percaya?”