Kak Yati menyentuh sebelah pergelangan tangannya yang dibalut perban. Masih dalam perjalanan pulang. Ayah menawarkan untuk membeli Bika bakar di tepi jalan, Raya protes karena menginginkan sate. Ayah mengalah, membeli keduanya plus martabak mesir kesukaan Kak Yati.
Setiap pulang, ia merasa utuh. Ada Ibu yang merawatnya, menerima setiap duri yang ia tancapkan. Ada Kina yang tersenyum, menganggapnya panutan sekalipun ia bilang ia tidak menganggapnya sebagai adik. Ada Meisya dengan keluguan dan kepintarannya. Ada kampung, yang selalu memaafkannya.
Ia benci, sesungguhnya, harus berpura-pura kuat begitu ia menghadapi dunia nyata. Benci dengan orang-orang yang memaksanya untuk menjadi seperti apa yang mereka perintahkan. Bahkan benci dengan dirinya sendiri yang terlalu lemah dan hanya berusaha mencari tempat kabur.
Kak Yati menempelkan kepalanya dengan jendela, membuat udara mengembun di sekitar hidungnya. Hujan masih merintik, membuat buram seluruh pemandangan jalan yang melesat di sebelahnya. Lalu, telepon genggamnya berdering, menandakan ada pesan yang masuk.
Kak Yati merongoh sakunya, kemudian berteriak histeris.
***
Pak Jal menyatakan bahwa ia akan membawaku ke kota pusat tempat Kak Yati bersekolah. Meisya mendengarnya dan protes. Wahyu mendengarnya dan protes. Nek Ipit mendengarnya dan protes. Aku mendengarnya, dan akupun protes.
“Tetapi Kina ingin mendapat jawaban?”
“Ya, tapi bukan dengan cara seperti itu, Pak.” Meisya sudah terlebih dulu menjawab. “Kenapa kami harus berbohong jika ingin mendapat kebenaran?”
Pak Jal menyuruhku untuk membohongi Ibu, meminta izin untuk menginap dimanalah selama sehari saja. Tentu saja aku menolak.
“Karena Bapak takut Ibu kalian tidak mengizinkan jika kita memberitahu alasan sebenarnya.”
Jelas sudah, urusan ini, yang berbuntut panjang dan melukai kakakku, berkaitan erat dengan Ibu. Dan mungkin, berkaitan pula dengan tangisan Ibu hari itu.
“Jangan beritahu Kina.” Wahyu berpendapat lain, seratus persen menolak penguakan ini. Aku mendelik kepadanya, mengira ia sengaja menggodaku, tetapi wajahnya berkerut serius, tampak marah dengan Pak Jal. Aku menoleh, bingung.
“Kina rasa ada sesuatu yang kalian sembunyikan?”
“Pak, saya bilang jangan beritahu Kina!” Wahyu bersuara lagi, kini dengan suara yang lebih lantang. Aku terkejut, dan sedikit bingun mengapa Pak Jal memasang wajah pasrah, bahkan sedikit menundukkan kepalanya.
“Kenapa, sih? Wahyu, kenapa?”
Wahyu tidak menjawabku, menatap tajam Pak Jal. “Mungkin ini berhubungan erat dengan Bapak. Mungkin Bapak menyesal dengan masa lalu. Mungkin Bapak adalah seseorang yang paling penting dalam kisah ini. Tetapi, jangan bersikap gegabah hanya karena kecemasan Bapak sendiri! Jangan bersikap pengecut! Apalagi mengorbankan Kina!
“Bukankah Pak Jal yang kami kenal selalu rasional? Jujur? Baik hati? Bertanggung jawab?! Kenapa Bapak melakukan hal berbahaya seperti ini?! Kenapa Bapak menjadi licik seperti dulu lagi? Oh, Bapak takut, HAH?!”
“SEKALI LAGI AKU INGATKAN, JANGAN BAWA-BAWA KINA!” Wahyu menarikku pergi, dan Meisya mengikuti. Aku melihat sosok Pak Jal yang tidak berkutik, diam dan masih menunduk. Membuatku bingung dan benar-benar kebingungan.
Wahyu masih menarikku dengan kemarahannya. Membawaku menjauh. Aku menurutinya, dan barulah ia melepas tarikannya di pematang sawah dekat Mesjid kampung. Wajahnya masih keruh, membuatku takut-takut meliriknya.
“Kenapa?”
“Kina,” Wahyu memotong ucapanku dengan kencang. “Mungkin sekarang kamu kebingungan, dan benar-benar muak dengan situasi penuh tanda tanya seperti ini. Tapi, aku tidak suka kamu mengikuti cara berbahaya seperti tadi! Na, pasti ada jalan yang baik untuk kebenaran seperti itu.”
Aku diam. Setengah karena menuruti ucapannya, setengah lagi karena pertanyaan yang mendadak muncul di kepalaku.
“Apa.. sebelumnya, kamu mengenal Pak Jal?”
Wajah marah Wahyu sudah sedikit membaik, dan ia sudah tersenyum seperti biasa begitu mendengar pertanyaanku.
“Tentu. Aku dan Ibu mendatangi kampung ini karena Pak Jal.”
“Apa, dulu.. Pak Jal adalah guru juga?”
“Tidak. Dia pekerja kantoran, seperti ayahmu.”