14 JAM SEBELUMNYA....
Aku menuruti Wahyu sepanjang sore. Sepanjang hari. Aku diam disaat kami beraktivitas di markas. Aku menurut di saat kami mengunjungi rumah jahit. Aku tenang disaat kami mandi di pancuran. Aku menurut karena aku menyayanginya.
Sejujurnya, diam ini membuatku gelisah. Aku ingin marah, tapi aku merasa pecundang untuk melampiaskan kekesalan karena pendapat Wahyu yang benar. Aku ingin bertindak, tapi aku takut menjadi gegabah. Aku hanya takut membahayakan seseorang, sekalipun banyak sekat yang ingin aku singkap.
Malamnya, kehadiran Tika di markas membuat suasana membaik. Menjadi biasa-biasa saja diantara orang aneh seperti kami dan aku, mampu menenangkan diriku. Obrolan ngalor ngidul yang terkesan sepele mampu menghilankan keresahanku. Senyumnya yang manis terukir, membuat aku ikut tersenyum pula.
Dan menyadarkanku.
“Besok Ibuku berulang tahun.”
Ucapanku membuat Wahyu menoleh, kebingungan. Pun Tika yang baru saja berpamitan, urung melangkah, menungguiku berbicara.
“Setahun lalu, disaat aku belum tau segalanya, Kak Yati berteriak di hari ulang tahun Ibu.” Aku menerawang, mencoba mengingat detail yang masih aku simpan di ruang ingatanku. “Dan semuanya, bersikap seakan itu hal yang wajar. Hanya aku yang kebingungan, hanya aku yang terkejut. Sedangkan Ibu, menangis. Dan Ayah, Ayah…. tampak sedih.”
Aku lalu tersenyum, menatap Wahyu tegas. “Kini aku tau semuanya. Aku tidak suka membiarkan Kak Yati menangis lagi di hari ulang tahun Ibunya. Aku tidak ingin semuanya berpura-pura semua baik-baik saja disaat itu tidak. Aku tidak ingin semua luka tertutup, karena aku ingin mengobatinya. Dan aku tidak ingin diam, disaat aku bisa berbicara.”
“Ketika aku berumur sembilan tahun, akhir minggu, aku sedang mencari-cari Kak Yati dan Kak Tsur untuk bermain. Karena sejak mereka memiliki teman, aku hanya bisa bermain dengan mereka di akhir minggu. Untukku itu cukup, sekalipun Kak Yati tidak pernah lagi tersenyum melihatku. Ia sedang di kamar, menggunakan mesin jahitnya, disaat aku datang dan menarik lengannya, memanggilnya Kakak.”
“Belum pernah aku sebelumnya melihat sinar marah seperti itu dimatanya. Ia menghempas tangannku, bergetar lalu berteriak, ‘Kamu bukan adikku! Dasar pembohong! Kamu yang merebut keluargaku!’”