Aku meremas kedua tanganku. Masalah ini nyata, semua sakit ini nyata. Apa yang aku perbuat, benar-benar memiliki konsekuensi buruk di akhirnya.pepatah yang menasehati mengenai bermain api, ternyata benar adanya.
Orang-orang kantor sibuk membicarakannya. Rapat dadakan di gelar. Dan aku, aku menungguinya diluar. Ketakutan, kebingungan, merasa bersalah, dan benar-benar bingung. Cemas dengan kemungkinan yang akan aku lalui. Panik dan merutuki betapa bodohnya aku dalam mengambil keputusan. Menyesali diri yang tidak pernah becus dalam berbuat sesuatu.
“Hei, Faizal, kenapa kamu tampak cemas seperti ini?”
Aku menoleh, mendapati abangku, Hadi, yang merupakan kepala HRD kantorku, tersenyum ramah. Ia selalu menjadi orang baik, dan mungkin, selalu bahagia. Ia kini memiliki 2 anak perempuan yang manis, dan kabarnya, Kakak Iparku sedang mengandung anak mereka yang ketiga. Seharusnya aku turut bahagia melihat kebahagiannya, tetapi aku malah memasang wajah muram, cemas.
“Kenapa, Iz?”
Entah apa yang aku pikirkan. Yang aku ingin hanya membagi sedikit bebanku kepada seseorang. Yang ada di pikirku setidaknya aku bisa bercerita dengannya. Menyatakan masalahku, sekalipun tidak ada saran yang diuraikan. Dan mendapati sosok Abang yang selalu mendengarkanku, membelaku di setiap kesalahanku, yang aku inginkan hanyalah bersandar, mengadu kepadanya.
Kami hidup di keluarga yang berkekurangan. Ayah hanyalah pedagang asongan, dan Ibu merupakan buruh cuci. Dengan keadaan seperti itu, kami tumbuh berbeda. Bang Hadi yang merupakan anak sulung menyikapinya dengan cerdas, bekerja dan belajar dengan keras. Ia berhasil mendapat beasiswa sepanjang masa sekolahnya, menjadi orang baik, dan kini hidup terpandang.
Aku menempuh jalan yang salah, menganggap kekuranganku adalah kondisi yang membuatku bebas melakukan apapun. Aku menentang, mencuri, melakukan banyak pelanggaran hukum. Aku membuat geng besar, menjadi kepala preman dengan ribuan anak buah yang loyal padaku. Nama gengku segera tersebar luas di penjuru Ibu kota, bahkan melebarkan sayapnya hingga beberapa kota provinsi, semakin menunjam kuat dan hebat.
Ayah dan Ibu sakit karena pekerjaanku yang keluar masuk penjara. Sipir penjara adalah anak buahku. Hakim adalah peliharanku, selalu membelaku begitu uang mengaliri saku-sakunya. Dan, hanya Hadi yang tetap menjagaku, masih menganggapku adik kecilnya.
Semua berubah begitu aku mengenal Sinta. Kembang desa yang cerdas dan terpelajar. Yang berhasil membanting anak buahku yang ingin memalaknya di pasar. Aku menyukainya, dan berusaha merubah hidupku. Meninggalkan gengku deminya, mencari pekerjaan yang bersih dan baik, bersikap santun dan mulai mengenal agama.
Sinta begitu baik kepadaku. Ramah, dan tidak memandang masa lalu di belakangku. Mendukung semua perubahanku, bahkan ikut menangis melihat bekas tato yang kubakar di lenganku.
Ternyata, ia menyukai Abangku. Tentu saja, tidak ada yang tidak menyukainya. Tatapan teduhnya, tutur katanya yang lembut, serta gerak-geriknya yang manis. Mereka menikah, dan aku tidak marah. Aku menyayangi Abangku, dan aku mencintai Sinta. Aku pun bahagia jika ia bahagia.
Geng kami terlantar begitu aku merubah hidupku. Mungkin itulah awal mula masalah. Banyak anak-anak yang aku tampung dari jalanan, dan mereka kelaparan begitu aku berhenti melakukan banyak maksiat. Kebingungan melandaku. Aku tidak ingin menapaki jalan kelamku lagi, tetapi akupun tidak tau bagaimana mendapatkan uang untuk itu. Di tengah-tengah kecemasan itu semua, mataku menangkap setumpuk uang hasil kontrak dengan perusahaan besar. Gelap mata, aku kalap mencurinya. Membuka ulang jalan kelamku.