Bel masuk berbunyi. Suara nyaringnya memang kadang bisa menyebar luas. Karena aku yang sedang tidur di rumah pun mendengarnya.
Aku sakit. Dan sebagai informasi, aku cukup jarang sakit. Imunku memang kuat, dan aku ditempa keras untuk bekerja banyak, sehingga fisikku lebih tahan banting. Mungkin ini efek aku tiga hari menangis dan diare, sehingga kini aku tidak dapat beranjak di kasur.
Semua pekerjaan terpaksa di pindahkan ke Ibu. Dan sekalipun Ibu tidak mengeluh, melihatnya mengusap keringat di depanku, ataupun menghela napas kencang, sudah mampu membuatku merasa bersalah. Membuatku berpikir, bahkan sakitku saja aku menyusahkan orang lain. Dan membuat harapanku mengenai Ibu yang membuatkanku bubur ataupun memberikanku perasaan tenang menghilang.
Buku tulis ceritaku penuh. Sehingga, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ibu sedang berbicara dengan penjual sayur keliling kampung, dan lagi-lagi aku dapat mendengar keluhannya. Entah harus bahagia karena ternyata aku selama ini sangat membantu, atau sedih karena menganggap Ibu hanya melihatku sebagai seorang pembantu.
Beruntung, Meisya kemarin membawa banyak buku perpustakaan. Sekaligus membawa seluruh edisi dari buku St Clare kesukaanku. Walaupun buku itu termasuk jajaran buku-buku yang paling sering aku baca, dan aku sudah hapal dengan setiap bagiannya, aku tetap tekun merangkai setiap katanya, lalu tertidur dengan buku tergeletak di sebelahku.
“SINTAA!”
Badanku sedikit terlonjak mendengar teriakan tersebut. Terdengar pintu yang di buka tergesa-gesa, lalu sosok yang terdengar saling menubruk dan ditambah dengan tangisan.
Ibu terdengar menenangkan wanita yang berteriak tersebut. Aku masih mengerjap-ngerjap, mengumpulkan kesadaranku sekaligus mencerna kejadian apa yang aku lihat barusan.
Wanita itu masih terisak kencang, dan suaranya terdengar bergetar. Ibu masih menenangkan, lalu melakukan apalah, tetapi mereka terdengar menjauh. Aku menahan penasaranku, mencuri dengar hanya dari kasurku.
“…..Kina tertidur.”
“… aku….. takut…..laki-laki…..jubah hitam… memanggil lalu…ku.” Sayup-sayup terdengar suara bergetar wanita itu, dan lagi-lagi aku harus terperanjat mendengar kata ‘Jubah Hitam’. Memperbaiki posisi tidurku, tetapi malah menimbulkan derit pada dipanku, dan percakapan terhenti sejenak.
“Tidak ada……nya.”
“Tapi…. Matanya… dan……itu.”
Aku berdecak kecil, kesal tidak dapat mendengar setiap kata dengan jelas, dan aku sudah kepalang penasaran karena adanya ‘Jubah Hitam’ yang tersebut dalam setiap kata itu.
Akhirnya, aku menyudahi kegiatan mengupingku. Mulai lagi menyusun kemungkinan sang Jubah Hitam. Merinci apa saja detail yang sepertinya dapat aku tangkap, dan apakah aku mengenal orang tersebut.