Kampungku sedang heboh. Kandang ayam milik salah satu warga di porak porandakan. Sang penjaga pun di celakai, dan ayam-ayam ternak itu beberapa dibunuh di tempat, menguarkan bau-bau amis dan busuk.
Sayangnya, tidak ada yang mengetahui siapa pelakunya. Penjaga kandangpun mengaku di serang dari belakang, sehingga ia tidak melihat wajah dari pelaku. Dan teror ini semua bermula dari kotoran yang di lemparkan ke jemuran kami.
Seluruh kampung ramai akan bisik-bisik mengenai hal itu. Ada yang menyebarkan rumor tidak benar, rumor berbau mistik, dan mengarang banyak cerita. Di sekolahpun, kami ramai memperbincangkan hal itu. Dan kami, tidak ketinggalan, membahasnya di markas.
Tika paling bersemangat mengenai hal itu. Ia mengusulkan kami untuk melakukan penyelidikan, tetapi Wahyu dan Meisya langsung menolak, mereka sudah sibuk dengan proyek mereka sendiri. Akupun tidak menyetujuinya, menyibukkan diriku dengan menulis banyak cerita lalu akhir-akhir ini aku hobi menyanyi, sehingga aku sibuk melatih pita suaraku.
Prasangkaku mengenai Wahyu ternyata salah, ia terbuka mengenai masa lalunya. Aku bertanya padanya sering kali, dan dia berbaik hati menjawabnya. Walaupun kebanyakan jawabannya tidak tahu, karena ia besar di panti asuhan, keterbukaan Wahyu saja sudah cukup menenangkanku. Karena kecurigaanku memang hanya sebatas prasangka, dan terasa mustahil untuk menjadi benar.
“Apa dulu di panti asuhan kamu disiksa?” Aku mendadak bertanya, bosan memerhatikan Wahyu yang sibuk menyusun dan Meisya yang masih asyik menggambar detail sketsa.
Wahyu tertawa lebar, menertawai kebodohanku. “Kamu pikir, semua panti asuhan itu seperti yang di film-film? Ya tidaklah!”
Aku memangku daguku, belum puas dengan jawabannya. “Ya, tapi pasti ada, kan, beberapa pengasuh yang menganakemaskan beberapa anak?”