(Not) Sister

Yamsyina Hawnan
Chapter #26

Semua tentang Wahyu

Siang ini, aku pulang bersama Wahyu. Semenjak kabar mengenai buronan itu tersebar, setiap anak diinstruksikan untuk tidak berjalan-jalan sendirian, dan dilarang bepergian larut malam. Tika memiliki urusan dengan Pak Jal, dan Meisya menemaninya. Seharusnya kami pulang berempat, tetapi Wahyu memiliki janji dengan Ibunya. Dan aku berbaik hati menemaninya.

Wahyu sibuk bercerita mengenai kompetisi sabung ayam yang diam-diam di lakukan oleh tetangganya, dan mencecarnya. Ia sangat berisik siang ini, dan aku hanya diam mendengarkan, mengingat buku cerita baru yang Pak Jal beli beberapa hari lalu di pasar. Aku belum selesai menamatkan seluruh buku, dan karena buku-buku itu, aku kesulitan dengan ide-ide yang berdatangan. Maka, Wahyu sibuk berbicara, dan aku sibuk dengan pikiranku.

“Na!”

“Ya?”

“Kamu tidak mendengarku?” Wahyu memasang wajah cemberutnya, menyadari aku melamun sepanjang ia bercerita. Aku nyengir, merasa bersalah.

“Maaf. Kamu bilang apa?”

Wahyu masih cemberut, tetapi kemudian ia berbalik menghadapku seraya nyengir lebar. “Tidak ada, sih.”

Kini gantian aku yang kesal dengannya. Wahyu tersenyum puas melihatnya, menghindar sebelum aku memukul pundaknya keras.

Langit tampak mendung. Kami harus mempercepat langkah agar tidak kehujanan. Tetapi sayangnya, hujan sudah menderas begitu kami mencapai teras rumah Wahyu.

Aku termangu melihat langit yang gelap, rapat dibasuh air hujan. Jarak dari rumahku dan rumah Wahyu cukup jauh, aku pasti akan basah kuyup begitu sampai di rumah. Dan yang paling aku khawatirkan, buku tugas dan pelajaranku tentu akan basah pula, sedangkan masa-masa sekarang sangat penting bagiku untuk belajar.

“Kamu mau masuk dulu ke rumahku?” Wahyu berbicara, menangkap kecemasanku tanpa bertanya. Aku menoleh, menatapnya lama.

“Sekalianlah, Na. udah lama kamu belum jadi mampir ke rumahku.”

“Ibumu ada?”

“Iya. Paling sedang menjahit.”

Aku mengangguk menyetujui. Mungkin aku juga bisa menyelesaikan tugas di rumah Wahyu seraya menunggu hujan reda. Kami pun memasuki rumah berbarengan, mengucap salam.

Ternyata ada Ibu di rumah Wahyu, sedang berbincang dengan Bu Iin. Ibu menatapku datar, diam saja begitu aku menyalaminya. Bu Iin tampak pucat, dan tatapan matanya kosong. Wahyu menyalaminya santun, mengajakku menuju lantai dua rumahnya.

Rumah Wahyu sudah tergolong mewah untuk ukuran kampungku. Halamannya luas, dan memiliki dua tingkat. Lantai bawah sepertinya digunakan sebagai tempat kain-kain dan alat jahit milik Bu Iin, barulah kamar dan ruang keluarga di lantai atas. Kamar Wahyu berada di dekat tangga, bewarna biru laut yang indah.

Kamar Wahyu pun cukup rapi untuk ukuran laki-laki. Dan yang paling membuatku takjub adalah koleksi buku-bukunya yang tebal dan cukup banyak, membuat nafsu membacaku terbit.

Wahyu tersenyum melihatku yang tidak melepaskan pandangan pada tumpukan koleksi buku bacaanya. “Tadi aku sudah menebak bahwa kamu akan memerhatikan buku-bukuku, dan ternyata aku betul, ya?”

Aku tidak menjawab, menarik beberapa judul dari rak. Seperti terhipnotis, aku membaca sinopsisnya dengan teliti, kemudian menoleh ke arah Wahyu. Sahabatku itu tertawa, mengangguk.

“Boleh dipinjam kok, Na.”

Aku menyunggingkan senyum, membawa sebuah buku tebal di pangkuanku, Wahyu memasuki kamar mandi, mengganti baju, sementara aku sudah telungkup, membalik-balikkan halaman buku.

Pintu kamar mandi terdengar terbuka. Suara langkahpun terdengar. Tak lama, Wahyu duduk di depanku, tersenyum dan hanya diam.

Angin berembus, menerbangkan helaian rambutku, dan tiba-tiba Wahyu mencengkran rambutku.

Lihat selengkapnya