Aku tidak dapat bertemu dengan Wahyu selama akhir pekan. Sebagian karena dia tidak mendatangi markas, sebagian lagi karena memang aku yang menghindarinya, berpikir keras maksud ia menunjuk wajahku. Belum lagi dengan teror-teror yang semakin ramai dan semakin kejam yang meneror kampung kecil kami.
Korban yang berjatuhan semakin banyak. Orang-orang takut pergi ke ladang sendiri. Kegiatan di luar ruangan pun dikurangi, dan semua hanya boleh keluar jika beramai-ramai. Ronda juga sering di lakukan, walau belum ada hasil yang signifikan dari kegiatan tersebut.
Tika selama akhir minggu ini memintaku dan Meisya menemaninya di rumah Nek Ipit. Itu semua karena Nek Ipit mendadak memiliki urusan di kota pusat, dan tidak ada yang dapat menemaninya. Ayah yang pulang saat itu mengizinkanku, dan Ibu hanya menurut, membiarkanku.
Proyek ceritaku dan Tika berjalan lancar. Apalagi sekarang ada tambahan bahan cerita dari majalah yang Ayah rutin bawakan tiap minggu dan buku-buku yang Nek Ipit banyak berikan karena mengetahui minat baca Tika, banyak ide-ide berdatangan di kepala kami. Meisya pun turut memberikan saran dan detail-detail menakjubkan.
Hari ini, Tika mengundang Fanni dan Sari ke rumahnya, dan kami mengadakan piknik kecil. Suasana pagi ini begitu damai dan sejuk, sehingga acar piknik berjalan lancar. Fanni dan Sari membelikan Meisya boneka beruang, entah atas dasar apa. Adikku itu menerimanya dengan senang hati, karena mungkin selama ini ia jarang diberikan hadiah.
Tak perlu waktu lama, apalagi ada Fanni dan Sari yang cukup cerewet, pembahasan kami sudah merembet kepada Jubah Hitam yang menggemparkan kampung kami. Menceritakan mengenai Pak Uwo Fanni yang terkena imbas, sepetak tanahnya di bakar entah dasar apa. Menceritakan itik-itik yang ditemukan mati dingin, dan kabarnya itu karena keracunan, dan tentu saja ini menghebohkan, karena racun mematikan cukup sulit di temukan di kampung kuno dan kecil kami.
“Asalkan kita tidak sendirian dan waspada, kita pasti selamat. Ia hanya menargetkan orang-orang yang sendirian di tempat sepi.” Aku menambahkan, setuju. Lalu, aku menoleh ke arah Tika, bertanya.
“Apa menurutmu, orang berjuba yang menolongku waktu itu adalah Jubah Hitam?”
“Kamu pernah ditolong Jubah Hitam, Na?” Sari sudah terlebih dulu memotong perkataanku. Aku menjelaskan singkat, dan mereka segera memasang wajah bingung, tidak mengerti.