Mataku mengerjap, terasa pedih. Ada air yang menggenang, mengingat aku menangis ketakutan. Aku duduk, dan reflek itu datang dalam sekejap, aku bergegas memeriksa setiap inci di tubuhku.
Aku tidak menemukan adanya luka yang berarti. Lalu, aku segera mencoba mengenali ruangan di sekitarku, bertanya-tanya mengenai dimana aku, dan apakah aku akan mati sebentar lagi?
Aku melihat bekas darah berceceran di bajuku, dan di sekitar dipan tempatku terbangun. Dengan ini saja sudah jelas Jubah Hitamlah yang membawaku kemari, yang mungkin tempat persembunyiannya.
Terdengar suara rintihan. Aku segera menegang, mencari alat untuk melindungi diri. Aku menemukan sebuah balok kayu, menggenggamnya sekuat tenaga, lalu diam-diam maju, mendekati asal suara.
Ruangan ini memiliki lorong-lorong yang sempit dan gelap, membuat aku harus meningkatkan kewaspadaanku. Ada satu ruangan yang tampak bercahaya. Aku menguatkan genggamanku, bersiap mengayunkan tongkat.
“Kamu bisa turunkan tongkat itu.”
Terlambat, sosok tinggi itu berdiri di depan lorong, menatapku datar. Aku terjatuh, ketakutan dan masih berusaha melindungi diriku sendiri. Ia menghela napas, berbalik.
“Aku tidak akan menyakitimu.”
“BOHONG! KAMU MELAKUI TEMANKU!” Aku berteriak keras, entah mendapat keberanian darimana. Sepertinya aku memang hobi membahayakan nyawa, baru cemas setelahnya.
Sosok itu terdengar terkekeh, walau aku dapat merasakan unsur kekesalan di dalamnya. “Jika aku mau, aku sudah melukaimu sejak di hutan. Bukankah seperti itu seharusnya pelaku teror tersebut bekerja? Melukainya di tempat terbuka, kan?”
Aku masih diam, tetap berjaga-jaga. Lagipula, aku tidak mengenalnya! Siapa yang harus aku percaya jika aku terjebak dalam situasi begini?
“Hei, jika aku ingin menyakitimu, aku mungkin akan menunggu disana hingga kamu bangun, lalu menyiksamu. Percayalah, aku bukan orang bejat seperti itu.”
“Apakah kamu dapat dipercaya?”
“Apa kamu mau percaya?”
Akhirnya aku memberanikan diri, melangkah dengan balok kayu masih di genggamanku. Begitu aku memasuki ruangan tersebut, tampaklah sosok lelaki berkulit terang, sedang membersihkan diri dengan perban di perutnya. Dan, aku menemukan banyak buku-buku dan lukisan yang terpajang.
“Kenapa kamu masih membawa balok kayu tersebut?”
“Berjaga-jaga.”
Ia hanya terkekeh lagi, lalu meringis saat menempel kapas pada lukanya yang hanya dibalut seadanya. Aku memerhatikan, mulai merasa sedikit iba.
“Pergilah ke rumah sakit?”
Ia menoleh, lalu mengabaikanku. Tak lama, ia selesai membersihkan luka tersebut, mengenakan bajunya kembali, kemudian berlalu di hadapanku seraya membawa tumpukan kapas dengan bekas darahnya. Ia lalu kembali dan membawakan segelas air.
“Minumlah. Kamu pingsan cukup lama.” Ia menyodorkan gelas tersebut. Aku mengendusnya, membauinya, dan memerhatikan air itu cukup lama, barulah aku menyesapnya perlahan.