Aku selalu berhadapan dengan tatapan-tatapan ‘ini’ akhir-akhir ini. Tatapan ketika Polisi datang. Tatapan ketika Polisi datang. Dan sekarangpun, tatapan ketika Polisi datang.
Langit sore kampungku berlatar sirene polisi, dengan cahayanya yang kerlap-kerlip seakan itu gemintang. Juga ditingkahi bisik-bisik yang berisik, dan teriakan yang tak nyaring. Bunyi borgol yang menegang, bunyi peluit yang tertekan, lalu bunyi garis batas yang melingkari rumah besar itu, rumah yang tidak pernah asing di mataku sekalipun aku hanya pernah sekali berkunjung di dalamnya.
Pak Tyo menemaniku melangkah keluar, menutupi lukanya dengan kaus besar. Aku bahkan abai memerhatikan bahwa tempat persembunyian Pak Tyo berada di bawah tanah, dan abai memerhatikan bahwa kami keluar tepat di sebelah rumah jahit Nek Ipit. Langkahku tidak tegap, dan aku bahkan tidak tau apa yang aku pikirkan, seakan semua isi di pikiranku di tarik keluar, dan aku bisa merasakan hampa di dalamnya.
Tatapan-tatapan itu memberiku jalan untuk melintas. Memberiku jalan untuk terkejut. Memberiku jalan untuk mati rasa. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan lagi, sekalipun yang aku inginkan hanyalah berteriak marah dan mengamuk kepada segalanya, dan semuanya.
Mata itu menatapku teduh. Tampak olehku ia ingin mendekatiku, tetapi ia dihalangi oleh aparat dan tangannya terborgol. Dan yang membuatku seakan dikoyak-koyak besar adalah, ia tersenyum kepadaku. Senyum seakan semuanya baik-baik saja. Seperti yang selalu ia lakukan.
Semuanya, semua jawaban yang ternyata telah aku dapatkan, tetapi aku pura-pura tidak menyadarinya, berputar di kepalaku setelah itu. Semua jawaban yang aku paksa menghilang dari kepalaku. Semua prasangka yang aku enyahkan saat itu. Dan semua kebodohanku untuk berbohong kepada diriku sendiri sekalipun aku mengetahui segalanya.
Tika merubah posisinya, mendadak bersemangat. “Kamu tau tidak, kenapa Wahyu menjadi juara? Sepanjang permainan, teman-teman akan meliriknya terlebih dahulu, dan jika dia tidak maju, barulah mereka berani menjawab. Aneh, bukan? Dan setiap Wahyu maju, tidak ada yang berani melawan dia, semuanya membiarkan dia menjawab pertanyaan.”
“Tapi, tapi, kamu tau tidak? Dulu dia sempat melirikku tajam, dan aneh, sih, aku rasa. Seperti ada hawa-hawa aneh begitu.”
“Na, Wahyu kemana, ya?”Syamsul bertanya kala itu.
“Memang kenapa?”
Ia menggaruk kepalanya, entah kenapa tampak bersalah kepadaku. “Soalnya, teman-teman takut sama dia.”
“Maksudmu?”
“Na, Wahyu itu hanya berbuat baik kepadamu. Jika bersama kami, dia akan merebut sepeda kami, memukul kami ketika bermain air, mengancam kami agar membiarkan dia menjawab seluruh pertanyaan, serta merebut layangan kami.”
“Kamu jangan berbohong, ya!”