Pak Tyo menemaniku setelah beberapa saat diinterogasi polisi. Ia memilih menutupi kenyataan bahwa Wahyu sengaja melukainya, mengatakan bahwa anak itu mungkin merasa terancam dengan kehadirannya. Ia sempat pula di periksa tenaga medis yang didatangkan bersama dengan polisi, dan luka baret itu ternyata tidak melukai badannya terlalu dalam. Setelah proses menjahit dan membersihkan, Pak Tyo di perbolehkan pulang.
Aku menyusuri jalan setapak. Membandingkannya dengan kenanganku dan Wahyu saat melewatinya, lalu tertawa menyadari aku hanya memiliki sedikit kenangan dengannya untuk menjadikannya tolak ukur . Pak Tyo membiarkan sikap yang aku yakin sangatlah aneh dan impulsif, mungkin karena ia tau hanya dengan itu aku dapat melupakan kejadian besar yang baru saja aku lalui. Termasuk menggodaku yang menangis kencang di lapangan bersama Wahyu. Dan aku harus mengikhlaskan banyak hal kini, sehingga waktu jalan setapak menjadi waktu yang tepat bagiku untuk merenung.
Pak Tyo berbaik hati mengantarku pulang. Aku tidak menolak, tidak pula menjawab. Hasratku untuk marah dan berteriak masih belum tersalurkan, sehingga aku menjadi emosi sendiri. semua berlalu lalang dengan singkat sehingga aku bingung mengeksplor perasaanku, dan kebingungan bukanlah emosi yang menyenangkan.
“Kina, kemari.”
Pak Tyo akhirnya berhenti sejenak di depanku, berdiri di pinggir sungai kecil kampung kami, yang terletak di tengah-tengah sawah. Ia lalu menunjuk sepetak sawah tepat di tengah lahan, menoleh ke arahku.
“Bisa kamu berteriak hingga burung-burung itu pergi?”
Tanpa perlu diberitahu, aku mengerti bahwa Pak Tyo sengaja memberiku semacam akses atau pelampiasan untuk mengamuk. Aku menerima tantangannya, berteriak kencang hingga tenggorokanku serak sekalipun gerombolan burung itu telah bubar sedari teriakan pertama.
Aku lalu berbaik hati menceritakan kepadanya, bahwa aku sempat menyangka dialah pelaku peneroran kampung kami. Lalu menceritakan mengenai sosoknya yang aku sangka hantu. Pak Tyo terdengar bersemangat mendengar markas rahasia Meisya, berjanji suatu saat akan mampir.
Ayah duduk di teras rumah. Biasanya beliau akan membalik koran di hadapannya, tetapi kini lembaran tersebut tergeletak di sampingnya. Wajah tegangnya berangsur pudar begitu melihatku muncul di tepi jalan.
“Sakinah!”
Ada respon yang lebih cepat daripada jawabanku terhadap sapaan lega tersebut. Mendadak, sebuah tinju melayang dan mengenai wajah Ayah. Aku berteriak kaget. Ayah terkapar, sementara Pak Tyo menggeram marah, masih mengepalkan tangannya.
“PAK TYO? KENAPA?”
“MAS!”
Ibu keluar, tergopoh-gopoh. Memeriksa keberadaan Ayah yang hidungnya mengeluarkan darah. Ia lalu mengangkat wajahnya, menangis.
“KENAPA ANDA SEPERTI INI?!”