Aku benci perpisahan. Benci dengan meninggalkan. Benci dengan pergi. Oleh karena itu, aku menyebutnya singgah.
Aku harus mengucap pamit kepada blus putih Ibu. Kepada mesin jahit Kak Yati. Kepada toko kain Bu Iin. Kepada majalah bekas milik Wahyu. Kepada tisu yang diberikan Wahyu. Kepada ruang perpustakaan. Kepada Nasi goreng di perpustakaan. Kepada bolongan rumah pohon. Kepada taman bunga. Kepada atap terpal dangau. Kepada pesawat kertas. Kepada rumah jahit Nek Ipit. Kepada jalan setapak rahasia. Kepada Mbok Ti. Kepada Tika. Kepada Warung Nek Ipit. Kepada tempat pemandian umum. Kepada kasurku. Kepada bungkusan cokelat. Kepada Kak Yati. Kepada Kak Tsur. Kepada kelinci. Kepada rumah Wahyu. Kepada ruang rahasia Pak Tyo. Kepada halaman rumah. Kepada Meisya.
Tika menyimpan buku cerita bersama kami. Meisya menyimpan seluruh ingatanku dan kenangannya. Kak Yati menyimpan mesin jahitnya untukku. Kak Tsur berjanji akan memboncengku dengan sepeda dan kami akan menikmati piknik.
Meisya menitipkan bungkusan, mengingatkanku untuk tetap mengiriminya surat setiap saat. Aku tertawa, mengangguk. Memeluknya erat, lantas melambaikan tangan. Meninggalkan orang-orang disana beserta kenangannya.