Sekarang pukul tiga belas lewat empat puluh tujuh. Ibu sedang membeli obat untuk Bibi yang tadi pagi tiba-tiba demam tinggi. Bapak tidak di rumah. Lebih tepatnya, dia meninggalkan Ami dan Ibu sejak Ibu mengandung Ami. Namun, itu tidak penting sekarang. Terdengar suara pintu diketuk, tetapi tidak ada satupun yang bisa membukakan selain Ami.
Ami punya dua opsi. Pertama, pura-pura tidak dengar dengan asumsi orang itu akan berfikir rumah sedang dalam kondisi kosong, lalu pergi. Kedua, menemui orang itu.
Namun, Ibu berkali-kali mengingatkan agar Ami tidak menemui tamu saat sedang sendiri. Menurut Ibu, siapapun berpotensi untuk membangkitkan trauma Ami. Jadi, opsi kedua dibuang.
Ami berencana mendengarkan beberapa lagu agar tidak terpicu oleh suara ketukan pintu. Namun, pertahanan Ami goyah mendengar ketukan itu kian keras, seolah si pengetuk tidak sabar ingin menemui pemilik rumah. Jika Ami tetap diam, Bibi bisa terbangun.
Opsi kedua diambil.
Ami meletakkan headphone yang nyaris memagari telinganya. Dia mencoba mengusir ketakutannya dengan menghela napas secara berulang. Setelah sedikit tenang, langkah demi langkah diambil. Suara ketukan pintu berangsur lenyap. Meski begitu, tidak ada jaminan suara itu tidak akan kembali. Ami tidak mau kecolongan untuk yang kedua kali.
Gagang pintu ditarik, meninggalkan bunyi decit yang menandakan pintu sudah menua. Pandangan Ami beredar. Tidak ada siapa-siapa. Hanya sebuah kotak berbahan kardus berukuran sekitar 30x30 cm. Padahal suara ketukan pintu masih terdengar di jarak 10 meter. Tidak masuk akal kalau tidak ada jejak yang tertinggal kecuali si pengirim menguasai jurus Hiraishin no Jutsu (jurus menghilang Naruto).
Dibawalah kotak itu ke dalam dengan segudang pertanyaan yang mendadak membuat kepala Ami sesak. Pasalnya, kotak itu tidak terlihat seperti paket yang dibeli dari toko online. Tidak juga seperti kado. Jangan-jangan...
“Bom?”