Cahaya matahari pagi menyelinap masuk dari sela tirai jendela kamarku, jam alarm berdering sesuai waktu. Mataku terbuka pelan dengan sangat malas, tanganku menggapai ponsel di nakas. Aku terbelaka melihat jam di ponsel menunjukan pukul 08.00 Pagi.
"Hah, mati aku!" Aku bergegas ke kamar mandi lalu bersiap untuk bekerja.
Sepasang sepatu menemaniku berlari dari rumah menuju tempatku bekerja. Dalam perjalanan, sesekali orang-orang menyapaku hanya sekedar mengucapkan selamat pagi.
"Pagi Ca!" Sapa tetanggaku yang sedang menjemur baju.
"Pagi Bi" Jawabku sambil berlari.
"Ca, sarapan?" Tanya pemilik toko roti langgananku yang sedang bersih-bersih.
"Besok-besok aja!" Teriakku sambil tak henti berlari.
Akhirnya, aku sampai di depan Mini Market tempat aku bekerja. Aku berhenti sejenak, menyesuaikan nafasku yang masih terengah-engah di depan pintu lalu masuk dan mengenakan seragam (seperti celemet) atas nama Raneysha Adena.
"Ca, gue balik ya! Fighting!" Teman kerjaku (Bryan) pamit pulang dan memberikan selamat.
"Hmm, selamat tidur pagi!" Jawabku, lalu pembeli berdatangan dan aku mulai bekerja.
Sudah enam bulan lamanya, aku bekerja di sebuah mini market 24 jam yang terletak dekat dengan rumahku. Tak banyak karyawan di tempat ini. Pemilik toko hanya memiliki empat karyawan, dua karyawan laki-laki dan dua karyawan perempuan. Kami terbagi menjadi dua bagian. Aku dan Aslan (sedang merapikan barang) berjaga dari pukul 09.00 sampai pukul 18.00 lalu dilanjutkan pemilik toko dari pukul 18.00 sampai pukul 00.00 dan diganti temanku Brisha dan Bryan dari pukul 00.00 sampai pukul 09.00. Setiap satu minggu jadwal akan digilir dari shift siang menjadi malam. Tidak ada waktu istirahat yang di khususkan selama jam kerja, aku dan Aslan biasanya istirahat ketika tidak ada pembeli yang datang.
Aslan menghampiriku dengan membawa dua roti sandwich dan dua botol air mineral. "Makan dulu Ca!" Pinta Aslan lalu aku menerima roti dan sebotol air yang diberikan. Kami makan bersama di toko sambil berjaga.
"Ca, kamu gak capek kerja disini? Gak mau cari kerja yang lain?" Tanya Aslan.
"Capek sih, tapi gimana lagi. Zaman sekarang susah cari kerja kalau gak ada relasi." Jawabku.
"Iya juga sih (tertawa kecil). Kenapa bisa kerja disini Ca? Emangnya gak ada niatan kuliah atau kerja di tempat yang enak?"
"Takdir." Jawabku singkat.
"Hmm?"
"Dulu, aku membuat keputusan yang salah dan sekarang aku menganggapnya sebagai takdir agar aku tidak hidup dalam rasa penyesalan."
Aslan menatapku beberapa detik lalu menganggukan kepalanya, pertanda ia paham dengan jawabanku.
"Ya, benar" Aslan mengucapkannya dengan pelan sambil menundukan kepalanya, lalu aku menengok dan menatapnya.