Aroma roti bakar dan kopi yang pekat adalah penanda pagi yang selalu sama di toko kecil milik Mama Zara. Aiden, ia sedang memakai celemek cokelatnya, lalu ia sibuk menyusun kursi. Sinar matahari pagi yang menembus jendela kaca memantulkan butiran debu, menciptakan tarian partikel kecil yang melayang dalam keheningan.
Mama Zara, dengan senyum hangat, terkekeh melihat Aiden. "Aiden, kalau lagi menyusun kursinya tolong pelan-pelan jangan dijatuhkan. Nanti kursinya rusak," kata Mama Zara, yang sedang mengawasi Aiden dari balik konter. Di dalam hatinya Aiden, ia tahu bahwa betapa dirinya sangat berbeda dengan Zara. Zara adalah kobaran api yang tak pernah padam, sementara ia adalah bara yang hampir mati.
Aiden melirik ke dapur, tempat Zara berada, lalu ia menjawab. "Iya. Santai saja. Ingat waktu kita masih kecil? Zara juga selalu bersemangat seperti ini."
Sesaat kemudian, sosok yang Aiden bicarakan muncul. Zara, dengan rambut hitam dengan dua ikat ekor kuda, keluar dari dapur membawa nampan berisi deretan kue-kue cokelat yang baru saja dipanggang. "Bagaimana aku bisa lupa?" Zara terkekeh, menaruh nampan itu di lemari transparan. "Dulu kita sering main petak umpet di taman belakang toko ini," Matanya berbinar-binar dan senyumnya hangat. "Walaupun yah, aku yang selalu menjadi pemenangnya." Lanjutnya.
"Kalian berdua udah seperti anak kembar," kata Mama Zara, tatapannya penuh kasih sayang. "Selalu bersama, susah senang." Aiden menunduk, bibirnya membentuk senyum kecil. "Zara dulu sering melindungiku dari anak-anak nakal di sekolah," katanya, sebuah pengakuan yang jujur. "Itu karena kamu agak lemah," sahut Zara, tanpa berpikir panjang. Ekspresi Aiden langsung berubah, "yah... itu emang benar sih," walau ia tahu Zara tidak bermaksud jahat.
Suasana kembali hangat mereka tertawa karena lelucon Zara. Aiden merasa ini adalah satu-satunya tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri. Setelah membersihkan meja, ia meletakkan celemeknya dan berpamitan. "Terima kasih, Aiden," kata Mama Zara. "Hati-hati di jalan."
Aiden mengangguk, lalu berjalan keluar. Ia menyusuri jalanan yang ramai, merasa seperti bayangan di tengah hiruk pikuk kota. Ia menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.