Nova Nebula: poor child (series 1) novel edison

Pikri YAnor
Chapter #5

Batas Pengorbanan

Setelah berhasil melewati ujian yang berat, Aiden, Zara, Kai, dan Ray telah resmi diterima sebagai peserta didik di Akademi Pelindung Galaksi. Mereka kini menjadi bagian dari sebuah keluarga yang lebih besar, selangkah lebih dekat untuk menjadi pahlawan yang mereka tak pernah bayangkan. Kebahagiaan dan kelegaan memenuhi setiap sudut akademi. Para peserta didik baru saling bertukar cerita, tawa terdengar di mana-mana.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Sebuah masalah baru muncul di antara para peserta didik, menyelimuti suasana akademi yang awalnya ramai dan gembira. Suasana berubah menjadi tegang dan khawatir, seolah awan gelap telah menggantung di atas kepala mereka.

Dokter Likton, dengan wajah cemas, menghampiri Aiden dan timnya. "Ada seorang peserta didik bernama Ethan. Kekuatannya telah tercemar," katanya.

"Seperti yang pernah kubilang, kekuatan yang tercemar bisa berbahaya," lanjut Dokter Likton, suaranya dipenuhi urgensi. Ia menjelaskan bahwa Ethan mengalami masalah psikologis akibat perundungan yang ia alami di masa lalu. Hal ini memengaruhi kekuatan yang dimilikinya, membuatnya sulit dikendalikan.

Aiden menelan ludah. Kata-kata itu menusuk hatinya. Ia merasakan koneksi yang aneh dengan Ethan. Ia sendiri tahu betul bagaimana rasanya disakiti, bagaimana ejekan bisa menggerogoti kepercayaan diri, dan bagaimana trauma bisa menguasai pikiran. Aiden, teringat perkataan Dokter Likton tentang pentingnya menjaga kesehatan mental, merasa bertanggung jawab untuk membantu Ethan.

Tanpa berpikir dua kali, Aiden, Zara, Kai, dan Ray mencari Ethan di seluruh akademi. Jejak kehancuran yang ditinggalkan Ethan dengan mudah mengarahkan mereka. Mereka melihat fasilitas akademi yang hancur, dinding-dinding yang retak, dan barang-barang yang berserakan, akibat Ethan menyebabkan kekacauan dan kepanikan.

Akhirnya, mereka menemukannya di sebuah ruangan latihan yang sepi. Ruangan itu diselimuti aura kegelapan yang menakutkan, seperti kabut tebal yang dingin. Ethan berdiri di tengah ruangan, wajahnya murung, matanya dipenuhi amarah.

"Ethan, kami ingin membantumu," kata Zara, melangkah maju dengan hati-hati. Suaranya lembut dan penuh kasih.

"Membantuku? Untuk apa?" balas Ethan, suaranya bergetar karena emosi. "Kalian pikir kalian bisa mengerti perasaanku? Kalian tidak tahu bagaimana rasanya disakiti, direndahkan, dihina-hina, ditinggalkan."

Aiden merasakan kata-kata itu seperti pisau yang mengiris-iris hatinya. Ia ingin mengatakan bahwa ia mengerti, tetapi kata-katanya tertahan.

Lihat selengkapnya