Aroma kopi dan roti bakar memenuhi ruang makan. Aiden duduk di meja bersama nenek, ayah, dan ibunya. Suasana pagi itu hangat dan tenang, kontras dengan mimpi-mimpi aneh yang belakangan menghantuinya. Mimpi tentang kehancuran dan suara sangkakala yang memekakkan telinga. Ia menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran itu.
"Aiden, sarapanmu nanti dingin," tegur ibunya lembut.
"Ah, maaf Bu," sahut Aiden, menyendok nasi goreng dengan cepat. Ia memang harus segera berangkat. Ada pekerjaan paruh waktu di toko kue Zara yang menantinya. Uang tambahan itu sangat berarti bagi keluarganya.
Setelah berpamitan dan mencium tangan neneknya, Aiden bergegas keluar rumah. Langkahnya cepat, menyusuri jalanan kota yang mulai ramai. Pikirannya melayang pada Zara, gadis manis pemilik toko kue itu. Ia sudah lama mengenal Zara dan ibunya.
Setibanya di toko, aroma manis kue dan roti langsung menyambutnya. Zara sedang menata etalase, sementara ibunya melayani pelanggan.
"Selamat pagi, Aiden," sapa Zara dengan senyum cerahnya.
"Pagi, Zara," balas Aiden, ikut tersenyum.
Lalu Aiden pun berbekerja membersihkan meja meja
"Aiden, jangan terlalu keras," Mama Zara terkekeh, mengawasi Aiden dari balik konter. "Nanti mejanya rusak."
Zara, keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi kue-kue. "Iya, Aiden. Santai saja. Ingat waktu kita masih kecil? Kamu selalu bersemangat seperti itu."
Aiden tersenyum. "Bagaimana aku bisa lupa? Dulu kita sering main petak umpet di taman belakang toko ini. Kamu selalu yang paling jago bersembunyi."
"Kalian berdua memang seperti anak kembar. Selalu bersama, susah senang," kata Mama Zara.
"Dulu aiden sering melindungimu dari anak-anak nakal di sekolah," kata Mama Zara.
Aiden sedikit marah. "Itu karena kamu selalu menarik perhatian mereka."
dan kemudian mereka ketawa