Nova

cuilan debu
Chapter #1

Prolog

Aku merasa gagal dalam percintaan, kurang beruntung dalam hal kepintaran, dan dilahirkan di keluarga yang keadaannya tidak cukup bisa aku terima. Lalu salah siapa? Seisi alam semesta mungkin akan menghakimiku jika kukatakan salah Tuhan padahal memang Tuhan yang memberikanku kehidupan seperti ini. Atau sebenarnya aku yang tidak bisa memanfaatkan dengan baik kehidupan yang sudah Tuhan berikan, sehingga merasa segalanya selalu ada yang kurang dari diri dan hidupku? Entah yang mana masalahnya, aku hanya selalu bertanya-tanya dan merasa belum mendapat jawaban hingga kini usiaku sudah masuk kepala dua.

Hah! Sombong sekali aku! Merasa sudah begitu tua padahal baru memasuki kepala dua. Merasa begitu putus asa tidak menemukan jawaban atas segala pertanyaan di kepala. Merasa bahwa semakin bertanya, semakin aku tidak punya keinginan untuk hidup karena tidak pernah ada pertanda aku akan mendapatkan jawaban. Atau jawaban yang kumau, tepatnya. Mungkin. Bodohnya lagi, aku terus-terusan bertanya, dalam kurun waktu yang tidak pasti. Aku sering menangis, memikirkan betapa beratnya hidup padahal belum juga menanggung beban anak atau keluarga. Tapi justru itu! Pemikiran tersebut membuatku jadi takut ketika nanti harus berkeluarga dan menghadapi tantangan yang pastinya akan lebih berat. Tapi tunggu! Keluarga dan anak bukanlah suatu tantangan apalagi beban, melainkan titipan Tuhan! Dan ya, tentu saja aku harus menjaga mereka. Naluri itu pasti akan muncul dengan sendirinya, nanti, ketika aku sudah cukup dewasa dan sampai pada waktunya.

Ya, sekarang aku masih remaja! Atau dewasa? Karena aku sudah memasuki kepala dua. Apapun itu yang jelas saat ini kondisiku masih labil! Labil sekali hingga aku melabeli diri sebagai seseorang yang mentally unstable. Suasana hatiku mudah dan sering sekali berubah-ubah. Aku kadang merasa bersemangat, melakukan berbagai hal yang membuatku lelah sendiri tapi aku tetap menikmati dan menyukai. Lalu di lain waktu aku merasa hidup begitu berat untuk dijalani, sunyi, tak ada yang peduli, lebih baik mati. Apakah aku terlalu berlebihan mendiagnosa diri sebagai orang yang mentally unstable? Apakah diagnosa atau label mood swing saja sebenarnya sudah cukup bagiku? Entahlah, aku seharusnya mencari bantuan profesional daripada terus-terusan bertanya dan kesal tidak kunjung mendapat jawaban.

Lihat selengkapnya