Nova

cuilan debu
Chapter #2

Jalan Pertama

Aku memperhatikan pantulan bayangan kami melalui kaca transparan yang ada tepat di seberang tempat duduk kami di dalam bus. Jantungku berdegup kencang tak beraturan dan tidak tahu sudah berapa kali aku diam-diam menarik napas untuk menenangkan diri. Entah apa yang ada di pikiran kak Nova, tapi aku hanya memikirkan cara untuk meredakan perasaan bahagia yang saat ini begitu membuncah di dada. Ini bukan pertama kalinya aku duduk berdua atau bersampingan dengannya, tapi ini kali pertama kami pergi berdua! Mungkin orang akan berpikir kami sedang berkencan – aku harap begitu, tapi tidak, kami bukanlah dua orang dengan status yang bisa bepergian untuk hal seperti itu. Ini hanya bepergian dari ajakan randomku padanya beberapa hari yang lalu.

Aku sangat senang bepergian menaiki transportasi umum karena hanya perlu duduk nyaman atau tidur lelap sementara supir mengantarku sampai tujuan. I wish I could go somewhere with you, tulisku melalui pesan pada kak Nova dengan sebuah foto aku di dalam bus trans, beberapa hari lalu. Aku sangat tidak menyangka ia segera mengiyakan ajakanku dan bertanya tujuan mana yang menarik untuk didatangi. Tentu saja aku segera merekomendasikan beberapa tempat yang pernah kukunjungi agar tahu rute bus yang harus kami naiki dan apa yang bisa kami lakukan. Tujuan kami akhirnya jatuh pada kampus tetangga dan pasar pagi Minggu yang aku cukup familiar dengan keduanya karena sudah beberapa kali datang. Tidak ada yang terlalu istimewa. Hanya akan berjalan-jalan berdua menikmati suasana dan bercengkerama tentang entah apa saja.

Bus melaju lancar di jalanan Minggu pagi yang tidak terlalu ramai. Sesekali, aku diam-diam melirik singkat ponselnya. Ia sedang membuka halaman Facebook. Sosial media yang sudah jarang sekali aku gunakan semenjak menjadi mahasiswa. Hanya beberapa kali aku membuka akunku untuk melihat kabar barangkali ada hal penting, tapi yang aku temui justru keadaan sosial media tersebut sudah berubah total bagai Instagram versi lite. Berandaku dipenuhi unggahan foto, bukan lagi tulisan-tulisan saja seperti zaman dahulu. Aku cukup kaget saat pertama mengetahui hal itu dan bertanya-tanya sejak kapan itu terjadi. Di akunku sendiri, tidak ada lagi hal penting – dan alay – karena aku sudah melakukan pembersihan sejak awal menjadi mahasiswa. Khawatir jejak digital tersebut dapat menjeratku dalam suatu situasi yang tidak menguntungkanku. Setelahnya, aku tidak lagi menemukan kesenangan membuka media sosial tersebut sehingga aku pun tidak lagi sering membukanya. Tapi ternyata kak Nova sepertinya masih aktif untuk sekedar scrolling beranda dan melihat-lihat postingan dari fanspage.

“Lihat deh,” kak Nova menyodorkan ponselnya dan menunjukkan video kucing. Aku segera melihatnya dan tertawa karena sangat lucu. Aku kemudian segera teringat banyak video yang aku simpan di Twitter untuk kutunjukkan padanya karena ia tidak memiliki akun Twitter.

Ah ya, berbicara mengenai kepribadian, kami sangat bertolak belakang dalam banyak hal sebenarnya. Dalam bermedia sosial contohnya, aku aktif di Twitter sementara ia aktif di Facebook, meskipun aktif di sini maksudnya hanya “aktif membuka dan melihat-lihat”. Perbedaan lainnya adalah bagaimana kami menyikapi sesuatu. Kak Nova adalah orang paling rasional yang pernah aku temui. Ia akan bertindak berdasarkan logika terhadap apapun. Sangat berlawanan denganku yang menomorsatukan perasaan ketika menghadapi sesuatu. Contoh sederhananya adalah kak Nova akan memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin dan mau diperlakukan. Aku tidak demikian. Dalam memperlakukan orang lain, selain sebagaimana aku ingin dan mau diperlakukan, aku juga akan menimbang apakah orang tersebut nyaman jika aku bersikap begitu. Karena bisa saja aku tidak masalah diperlakukan demikian tapi orang lain tidak menyukainya. Memang jadinya lebih rumit karena aku pun sadar bahwa aku tidak diciptakan untuk dapat menyenangkan perasaan semua manusia bahkan dengan usaha sebesar apapun, tapi aku merasa dengan begitu maka aku bisa jauh lebih menghargai perasaan orang lain.

“Kak, dari tadi ada yang ngikutin lho,” kataku sambil celingak-celinguk.

“Hmm? Siapa?”

“Semut. Karena mereka selalu ngikutin apa aja yang manis,” kataku sambil melihat tepat di kedua matanya. Ia tersenyum salah tingkah. Aku tentu saja tidak kalah salah tingkah dan semakin berdebar-debar.

“Seperti biasa yah,” katanya kemudian. Aku hanya meringis, menampilkan deretan gigiku. Benar sekali memang aku biasa melemparkan pick up line atau yang remaja bilang sebagai gombalan, yang aku kumpulkan dari cuitan-cuitan random di Twitter. Ada banyak sekali dan aku hanya tinggal menunggu waktu serta keberanian untuk mengungkapkannya. Setiap aku hendak berbicara padanya, entah kenapa rasanya seperti ada sekat di tenggorokan hingga suaraku sulit keluar. Berbicara normal saja susah, apalagi melemparkan rayuan gombal! Benar-benar membuatku salah tingkah sendiri sebelum sempat mengucapkannya.

“Kamu udah berapa kali naik ini, Ve?” tanya kak Nova. Aku bergumam dan berpikir, mengingat-ingat lagi kapan saja sudah bepergian menaiki bus ini.

“Sekitar lima atau enam kali kayaknya, mungkin?”

“Ke mana aja itu?”

Aku meringis, “Ke situ-situ aja sih he-he karena lebih sering sendiri dan aku agak males cari tahu tujuan baru kalo sendiri. Meskipun sebenernya lebih enak sih kalau sendiri cari tujuan baru karena bisa eksplor sana-sini dengan bebas tapi ya.. pada akhirnya aku juga perlu orang yang dikenal buat aku tanyai pendapatnya mending ke tujuan ini atau itu. Mending lewat rute ini atau itu sesuai arahan maps. Orang yang bisa aku ajak foto bersama atau kumintai memfoto aku. Jadi ya.. beberapa kali pergi sendiri cuma ke situ-situ aja,” jawabku panjang lebar. Tidak ada kebohongan. Memang benar aku lebih merasa enggan bepergian ke tujuan baru jika sendiri karena pada akhirnya meskipun aku merasa senang dan bebas tapi perlahan merasa kesepian. Lalu aku akan mulai mengasihani diri sendiri karena menyadari tidak memiliki siapa-siapa untuk diajak pergi dan senang-senang bersama.

“Berarti kamu kalo pergi-pergi selalu sendiri?”

Lihat selengkapnya