Libur semester ganjil telah dimulai tapi aku memutuskan untuk tidak pulang karena ingin mengejar seminar tugas akhir terlebih dahulu. Dua minggu lalu aku jatuh sakit, kuduga karena terlalu stress memikirkan ingin segera seminar dan mengejar materi sekaligus belajar untuk ujian akhir semester beberapa mata kuliah yang masih harus kuambil. Aku merasa sedikit kesal karena harus mengalami sakit hingga dua minggu yang artinya semakin membuatku tertunda melaksanakan seminar. Tapi aku kemudian berpikir untuk apa menyalahkan hal yang sudah terjadi dan memang tidak bisa dihindari. Toh, pada akhirnya aku tetap bisa melaksanakan seminar meskipun memang sedikit melenceng dari target. Aku sendiri sudah menyadari memang tidak ada yang tahu akan terjadi apa di masa depan.
Kak Nova sudah pulang ke rumahnya beberapa hari kemudian setelah hari kami berjalan-jalan. Sebelum ia pulang, kami sempat bertemu di perpustakaan pusat kampus untuk belajar bersama sekaligus berbincang santai. Aku mengajaknya untuk menemaniku mengerjakan tugas akhir sebenarnya, di waktu-waktu aku ngebut untuk mengejar seminar. Orang lain mungkin berpikir aku bersikap modus tapi tak masalah karena memang itu sebagian benar. Rasanya menyenangkan belajar di samping orang yang kusuka karena aku tidak perlu khawatir dan bertanya-tanya ia sedang apa atau di mana. Begitu sederhana mengetahui dia ada di dekatku dan dengan begitu hatiku merasa tenang.
Setelah seminar, aku mengistirahatkan diri beberapa hari dengan hanya tidur-tiduran, menonton drama, berjalan-jalan sendiri, dan tidur lebih lama dari sebelumnya. Lalu, beberapa hari sebelum memasuki semester baru tingkat akhir, yang kuharap menjadi semester terakhirku sebagai mahasiswa sarjana, aku membuat sebuah keputusan yang menurutku cukup besar. Menyukai kak Nova menyadarkanku akan satu hal bahwa aku belum layak untuk dicintai pada kondisiku saat ini. Semenjak tingkat tiga hingga kini, depresiku justru semakin memburuk. Aku tidak ingin menyalahkan keadaan tapi ketika bibiku sakit dan aku harus ikut merawatnya di waktu libur semester membuatku sedikit hilang kendali. Pikiranku tidak jernih dan semakin lama aku berpikir mungkin ini harga yang harus dibayar untukku bisa masuk ke kampus yang saat ini. Hari-hari hanya kuisi dengan menyalahkan diri sendiri meski aku tidak tahu mungkin sebenarnya tidak begitu.
Bibiku sebenarnya sakit sejak aku masuk tingkat dua perkuliahan, tetapi saat itu aku masih merawatnya sepenuh hati dan merasa itu sebagai kewajibanku sebagai seseorang yang diasuh olehnya. Tapi lambat laun rasanya aku menjadi lelah merawatnya, belum lagi perkuliahan yang semakin sulit dan aku merasa otakku pas-pasan. Aku jadi hanya terpikir hal-hal buruk yang telah terjadi di kehidupanku. Ingatanku membawa pada saat awal aku menganggap sakitnya bibiku adalah sebuah harga akan impianku karena aku memaksa dengan halus agar dibolehkan kuliah di kampus yang jauh. Aku begitu takut akan membahayakan orang lain lagi. Aneh sekali berpikiran begitu, saat ini kupikir begitu, tapi saat itu aku begitu takut ketika aku memiliki keinginan yang besar maka aku bisa mendapatkan keinginan itu dengan kehilangan seseorang atau sesuatu yang berharga di hidupku.