Nova

cuilan debu
Chapter #7

Konseling 1

Ruang konseling didesain sederhana tapi kalem dengan tembok berwarna krem dan beberapa hiasan bunga palsu dalam pot. Ada tiga ruang konseling dengan psikolog dan dua di antaranya kulihat sekilas didekorasi dengan kalimat motivasi. Tidak mengherankan.

“Silakan duduk dulu ya, ditunggu sebentar,” kata seorang petugas yang terlihat masih muda. Aku mangangguk singkat dan mendudukkan diri di sofa berwarna krem. Perasaanku begitu gugup penuh was-was karena sudah yakin harus menceritakan segala hal yang sudah kulalui. Minimal hal-hal yang mengganjal di hatiku, kalau tidak harus diceritakan semuanya.

Aku seringkali merasa hal-hal seperti itu, penyebab munculnya ketidaknyamanan dalam diri, terlalu sulit diceritakan padahal memang itu sumber masalahnya. Di dalam pikiran aku menyusun kronologi kejadian yang sudah aku alami, yang menyenangkan maupun yang tidak. Ini benar-benar kali pertama aku akan menceritakan kehidupanku dan mengharapkan bantuan dari orang lain untuk menemukan masalah dalam diriku sekaligus mencari solusi untuk menyelesaikannya.

Pintu terbuka dan seseorang keluar dengan wajah datar tetapi suara lantang ketika ditanya jadwal konseling berikutnya. Aku dipersilakan masuk setelah ia keluar. Di dalam ruangan berukuran sekitar tiga kali tiga meter terdapat dua kursi untuk “pasien” serta sepasang meja dan kursi yang digunakan psikolog, seorang ibu yang menurutku berusia hampir lima puluh tahun mungkin.

“Silakan duduk,” kata ibunya dengan ramah mempersilakanku. Aku duduk dan merilekskan diri, menarik napas panjang dan menunggu.

“Oke, Venus, sekarang kuliahnya semester berapa?”

“Semester delapan, Bu.”

Aku tahu pertanyaan pembuka hanyalah basa-basi karena si ibu pasti bisa dengan mudah melihat data diriku yang kuisi ketika mendaftar dan mengetahui aku dari jurusan apa, semester berapa, atau angkatan berapa. Setelah berbasa-basi menanyakan hal-hal standar, kami mulai masuk ke inti dari konseling ini.

“Baik, saya ingin tahu apa yang Venus rasakan akhir-akhir ini atau dalam beberapa waktu terakhir mungkin, apakah ada perasaan yang berbeda dengan dulu atau bagaimana?”

Aku merenung sejenak, memikirkan harus dari mana aku menceritakan keadaanku. Meski sudah menyusun kronologi peristiwa dan mempersiapkannya, ternyata ketika pertanyaan seperti itu diucapkan langsung oleh orang lain rasanya tetap sulit untuk langsung menjawabnya.

Lihat selengkapnya