Aku memasang telinga dan perhatian penuh pada Kak Nova, bersiap menyimak ceritanya.
“Dulu aku pengen jadi saintis dan salah satu alasanku masuk jurusan sekarang bukannya nurut aja disuruh masuk sekolah kedinasan ya karena itu. Tapi ternyata realitanya aku rasa nggak terlalu mendukung mimpiku untuk jadi saintis apalagi di Indonesia yang ibaratnya bahkan masih mempertanyakan belajar alam semesta itu sebenernya buat apa.
Selain itu aku juga merasa untuk jadi saintis itu perlu materi yang nggak sedikit, tentu karena perlu riset dan biaya riset itu nilainya nggak kecil. Jadi kadang kalo dipikir-pikir aku merasa riset itu sebenernya lebih ngabisin duit daripada ngasilin duit,” kak Nova tertawa dan aku cukup setuju dengan itu.
“Ngabisin duit banyak, tapi memang pengetahuan yang diperoleh dari sebuah riset bisa nggak main-main alis bisa begitu mind blowing atau jadi temuan yang menarik dan langka. Kita bisa tahu usia alam semesta kira-kira berapa kan suatu hal yang mengagumkan. Sebenernya harga, usaha, dan hasil sebanding. Mahal dan berharga. Makanya akhir-akhir ini aku lagi berpikir abis lulus S2 ini aku mending kerja dulu atau cari beasiswa buat lanjut S3 dan meneruskan impian aku.”
Kak Nova berhenti dan menerawang lurus ke depan. Aku mencoba memahami perasaan dan keadaannya. Memang betul yang ia katakan, negara ini masih belum mewadahi generasi penerus yang ingin menjadi saintis apalagi untuk melakukan riset sains murni seperti mempelajari alam semesta. Mempelajari sesuatu untuk menjawab sifat alami manusia yang selalu ingin tahu.
“Jadi kamu masih pengen jadi penulis, Ve? Dan masih nulis-nulis atau membuat tulisan untuk dikirim ke penerbit?” tanya kak Nova, memecah lamunanku.
“Iya. E-e…iya aku masih pengen jadi penulis maksudnya, tapi aku udah nggak terlalu sering nulis lagi. Entahlah mungkin rasa takut yang tadi aku bilang itu masih menghantui jadi aku belum tau apa yang sebenarnya ingin aku tulis.”
Kami berdua terdiam dengan pikiran masing-masing.
“Tapi kak,” aku tersadar akan sesuatu dan memecah sunyi di antara kami.
“Menurutku kita sebenernya nggak pernah bisa menyerah akan impian kita sepenuhnya. Mengubur dalam-dalam suatu impian itu menurutku hanya perkataan yang muncul di mulut dan nggak benar-benar masuk ke lubuk hati kita. Bahkan ketika kita sudah lupa akan sebuah mimpi, oke bukan kita tapi aku, saat aku lupa dengan mimpiku karena ada titik di mana aku merasa sudah nggak mampu meraihnya, karena ditampar realita atau yang lainnya mungkin. Aku rasa selagi mimpi itu masih ada di lubuk hatiku, walau sekecil bahkan walau hanya titik, menurutku mimpi itu akan menuntunku untuk tetap bisa meraihnya. Kenapa aku bilang begini? Karena aku pernah mengalami itu.
Kemarin pas kita jalan-jalan ke kampus sebelah, kan aku bilang itu kampus impianku sebelum akhirnya “kesasar” di kampus yang sekarang. Nah setelah di kampus sekarang, memang aku udah nggak pernah lagi kepikiran untuk berandai-andai dulu masuk ke kampus itu aja dan ketika kemarin kak Nova tanya aku kalo bisa mengulang lagi apakah aku akan ke kampus itu? Aku jawab enggak kan.
"Tapi sebenarnya, ketika aku denger ada seseorang begitu, yang asal daerahnya sama dengan aku, kuliah di kampus itu, atau bahkan sesederhana aku ngelihat mahasiswa kampus itu, aku masih merasakan kekaguman karena mereka bisa kuliah di kampus itu. Tentu saja dengan segera akan terlintas di benakku kalau dulu aku juga ingin kuliah di situ, tapi aku nggak bisa lagi menyebut sebagai mimpi, ya karena aku udah kuliah di sini.