Memasuki pekan ujian tengah semester, aku jadi lebih sering belajar di perpustakaan, sekaligus melakukan pengolahan data tugas akhir. Beberapa kali aku mengajak kak Nova untuk mengerjakan tugas di perpustakaan tapi selalu ia tolak. Kadang aku mengajak singkat saat kami di prodi dan jawabannya pun singkat. Di lain waktu aku mengajaknya melalui pesan dan barulah ia mengatakan tidak terlalu suka belajar di perpustakaan karena udaranya yang dingin ber-AC.
Ia bilang lebih suka menghabiskan waktu di kos, entah untuk belajar atau mengerjakan hal lain karena dengan begitu lebih sedikit waktu terbuang untuk “berpindah tempat”. Aku segera menyadari ini perbedaan lain di antara kami karena aku adalah orang yang lebih senang bepergian dan melakukan kegiatan di luar. Sekaligus aku menyadari perkataannya bertentangan dengan kalimatnya saat bilang untuk mengajaknya keluar kapan saja ketika aku mau pergi agar tidak sendiri.
“Kak, aku sebenernya bingung pas kak Nova bilang kalo aku mau pergi ajakin kak Nova aja tapi di lain waktu kak Nova bilang lebih suka ngabisin waktu di kos?”
Sore ini aku mengiriminya pesan, meminta waktu 30 menit setelah ia selesai kelas untuk mengobrol santai sebelum pulang. Melepas rindu yang tidak bisa aku katakan.
“Ya… emang aku lebih suka di kos, tapi kan kalo tiap hari di kos mulu lama-lama bosen dan pengen keluar juga. Lagian kamu pergi-pergi gak mungkin tiap hari juga kan?”
Aku mengangguk lemah. Benar juga, tapi kenapa aku risau.
“Minggu ini ada ujian apa aja, kak?” tanyaku karena tidak tahu hendak membicarakan apa. Kami saling memberi tahu jadwal ujian yang hanya berlangsung beberapa hari dalam dua pekan, mengingat sedikitnya mata kuliah yang aku ambil di semester akhir dan semester akhir fast track baginya.
Aku ingin sekali mengajaknya sedikit refreshing setelah ujian berakhir, entah dengan makan berdua di luar atau berjalan-jalan sore memberi makan kucing. Ah iya, aku selalu membawa-bawa makanan kucing ke manapun pergi dan mengiriminya foto setiap bertemu kucing liar di manapun, di dalam maupun luar kampus.
Kukatakan padanya bahwa aku senang membagi hal-hal kecil yang aku alami di hari-hari dan mengirimi foto kucing yang aku temui. Aku pun senang jika menerima hal itu darinya. Ia mengatakan noted ketika itu, dan mengirimkan foto liburannya saat akhir tahun kemarin. Beberapa kali juga ia menceritakan kegiatannya saat di rumah, mengirimkan foto saat hujan baru berhenti dan halaman rumahnya ternyata begitu asri dipenuhi berbagai tanaman, mengirim fotonya saat bermain game.
Bagiku itu kebahagiaan kecil yang membuatku merasa dianggap ada dan dihargai. Termasuk saat sudah masuk kuliah di semester baru ini, aku lebih sering berada di kampus – sebenarnya hampir setiap hari walau tidak ada kelas, aku selalu datang ke kampus – dan tetap mengiriminya foto kucing. Namun rasanya reaksinya sedikit berbeda dibandingkan ketika ia berada di rumah. Aku tidak tahu apakah berada di sini membuatnya memiliki waktu yang jauh lebih sibuk dibandingkan saat di rumah, sehingga pesanku kini selalu dibalas begitu lama olehnya.
“Kak, nyesel nggak kenal aku?”
Pertanyaan itu pernah kulempar begitu saja padanya saat kami selesai berkeliling museum. Tidak tahu kenapa, aku hanya ingin mengetahui hal itu saat itu.
“Enggak lah, kenapa harus nyesel?”