Hari ini ketiga kalinya aku menjalani konseling dan sesuai janji terakhirku dengan ibu psikolog, hari ini aku akan mulai melakukan terapi. Perasaanku buruk mengingat hari kemarin dan seperti biasa, ibu psikolog membaca raut wajahku. Sejak masuk ruangan ini aku hanya tersenyum tipis dan langsung menundukkan kepala, memegang kedua lengan yang sesekali terasa perihnya.
“Ada sesuatu yang terjadi?”
Aku perlahan mengangkat wajah dan menatapnya singkat.
“Ada, Bu, tapi tidak ingin dan tidak perlu saya ceritakan.”
Ibu psikolog hanya mendesah pelan dan memaksa senyum padaku, “Baiklah, tidak apa-apa kalau Venus tidak mau bercerita. Tapi kalau Venus merasa perlu menceritakan pada ibu, maka jangan ditahan, ya.
Nah, seperti kesepakatan kita pekan lalu, hari ini kita akan menjalani terapi atau sebenarnya relaksasi. Tahap pertama ibu akan meminta Venus untuk merelaksasikan diri dan ada beberapa instruksi yang nanti perlu Venus ikuti. Sebelum itu, silakan Venus duduk dengan posisi yang senyaman mungkin, boleh sambil setengah berbaring asal tetap fokus mendengarkan ibu dan jangan tertidur ya.”
Aku tersenyum singkat mendengarnya. Kuposisikan diri menyender kursi dan merilekskan tubuh sesuai arahan. Dalam bayanganku mungkin aku akan diminta kembali mengingat apa yang sudah kulalui, lalu apa? Perasaanku saat ini yang kurang bagus membuatku enggan melakukan itu seandainya diminta.
“Oke ibu akan mulai memberikan instruksi. Silakan Venus tutup mata dan rilekskan tubuh. Rasakan tubuh Venus dalam posisi seperti ini perlahan terasa semakin ringan.”
Sayup-sayup kudengar musik piano klasik mulai diputar. Aku tidak tahu apakah setiap orang yang menerima perlakuan seperti ini akan berhasil. Pikiranku terbagi mendengarkan suara ibu psikolog dan mengingat kejadian kemarin. Saat aku pulang lalu menangis dan menggoresi kedua lengan. Malamnya aku terbangun dengan kepala pening berdenyut dan lantai kamar penuh bercak darah. Aku mengusap-usap wajah dan lengan kemudian beranjak ke kamar mandi untuk mencuci wajah.
Rasa perih menjalari kedua lengan saat kubersihkan luka-luka dari darah yang telah mengering, tapi perih itu menghentikan air mataku untuk terus menetes. Aku merasa ajaib setiap kali itu terjadi. Air mataku justru tidak mudah keluar ketika aku terluka di luar, aku hanya meringis kesakitan, lalu sudah. Tidak seperti sakitnya perasaan, aku jauh lebih mudah menangis bahkan terkadang sampai tidak keluar air mata tapi dada terasa begitu sesak. Ajaibnya luka fisik membuatku senang menciptakannya.
Suara ibu psikolog kembali memenuhi kedua telingaku, “Sekarang Venus berada di titik ini, setelah melalui begitu banyak hal-hal baik dan buruk seperti yang telah Venus ceritakan kepada ibu. Venus tahu ya, semua hal yang terjadi pasti memiliki alasan.
Apapun yang terjadi di masa lalu, Venus sudah berhasil melewati dan sampai di titik ini. Ada kalanya Venus merasa melewati itu semua sendiri, tapi sebenarnya Venus tidak benar-benar sendiri.”
Ya, kadang kala aku merasa ibu dan bibiku berada di sampingku, mengawasi dan menemaniku. Seperti malam kemarin saat aku kembali ke kamar lalu melihat tote bag teronggok di lantai. Kuambil wadah plastik di dalamnya dan mulai memakan brownies buatanku sendiri. Tidak ada lagi air mata yang mengalir, tapi tenggorokanku terasa begitu tercekat dan sangat sulit menelan satu gigitan. Aku menutup mata dan membayangkan ibu dan bibi di sebelah kanan kiri membelai kepalaku dan memelukku.
“Venus melewati semua kesulitan-kesulitan itu bersama diri Venus. Coba Venus ingat lagi, pernahkan Venus merasa terlalu menuntut terlalu banyak hal pada diri sendiri? Pernahkah berkata pada diri sendiri hal-hal seperti
maafkan aku karena selalu memaksamu melakukan hal yang mungkin di luar kemampuanku dan menyalahkan ketika kamu tidak bisa melakukan hal itu
Sekarang bayangkan Venus melihat sebuah cermin, kemudian datangi cermin itu dan lihatlah bayangan di dalamnya.”
Aku melihat sebuah cermin besar penuh ukiran kayu di pinggirnya. Cermin antik yang selalu ingin kumiliki. Tapi aku tidak melihat bayanganku di dalam cermin.
“Apakah Venus sudah melihat diri Venus di dalam cermin itu?”
Aku menggeleng pelan dan merasakan air mataku menetes di kedua pipi. Entah karena masih teringat kejadian kemarin atau karena aku tidak melihat diriku di depan cermin, tapi aku merasa begitu sedih dan hampa.
“Saya sendiri, Bu. Tidak ada siapa-siapa di dalam cermin, kenapa?”
“Oke sekarang coba lihat ke cermin dan Venus panggil diri Venus dengan lembut.