Kali keempat aku melakukan konseling dengan perasaan yang tidak jauh berbeda dengan konseling terakhir. Lagi-lagi karena kak Nova. Entah aku yang terlalu berharap padanya atau ia yang jadi terlalu acuh padaku.
“Hari ini kita mulai seperti kemarin?” bu psikolog menyapaku dengan senyum ramah seperti biasa. Aku bertanya-tanya bagaimana orang yang berprofesi sebagai psikolog mengatasi masalahnya sendiri. Seperti dokter yang kalau sakit akan mengobati dirinya sendiri atau pergi berobat ke dokter lain, apakah psikolog juga begitu? Apakah mereka pun saling menyembuhkan atau mereka semua menyembuhkan diri sendiri?
“Sepertinya Venus hari ini juga kurang bersemangat?”
Aku mengerjapkan mata kemudian memaksa senyuman.
“Kita bisa mulai sekarang, Bu?”
Ibu psikolog hanya menghela napas dan menurutiku. Seperti pekan kemarin, aku memposisikan diri agar terasa nyaman dan menutup mata kemudian mendengarkan instruksi dan musik yang dinyalakan samar-samar. Aku sudah tahu alurnya bagaimana jadi aku seharusnya bisa melakukan itu. Meminta maaf akan segala hal yang telah aku lakukan pada diriku sekaligus berterima kasih karena telah bertahan sejauh ini. Ya, itu pasti mudah untuk dilakukan.
Atau justru sebaliknya. Sejak kali terakhir konselingku, aku mencoba menerapkan terapi di kamar kos sendiri. Kupejamkan mata dan membayangkan berhadapan dengan diriku sendiri di depan cermin. Sepatah kata pun tidak berhasil aku ucapkan padahal aku sudah sendirian dan seharusnya aku bisa lebih terbuka dengan diri sendiri.
Merasa putus asa, aku akhirnya mengambil cermin dan menatap langsung wajahku. Menatap kedua mataku. Alih-alih aku bisa mengatakan kalimat dengan lebih lancar, aku justru merasa takut melihat pantulan diriku. Semakin kuperhatikan, rasanya aku makin tahu seperti apa diriku dan justru jadi makin menakutkan.
Aku menutup cermin dan memeluk diriku sendiri di lantai. Mataku terhenti pada luka dan bekas-bekas di kedua lenganku. Selalu seperti ini ketika aku sendiri. Saat merebahkan diri, aku melihat lenganku dengan begitu banyak bekas luka. Saat duduk memeluk diri pun begitu. Melihatnya membuatku merasakan perasaan yang aneh. Puas sekaligus prihatin. Mengapa aku mengalami ini dan tidak bisa berhenti.
Pernah ada masa aku bertekad untuk berhenti melakukan self harm tapi aku berkali-kali gagal karena merasa selalu dihadapkan pada satu hari yang begitu berat sehingga dadaku begitu sesak dan satu-satunya cara melampiaskan perasaan itu adalah dengan self harm. Tentu saja aku tetap mencoba mencegah diri dengan memegang cutter cukup lama dengan erat dan menahan agar tidak menggoreskan ke lengan. Tapi aku tidak berhasil juga.
Satu goresan dan perasaanku sedikit lega. Dua goresan dan makin lega. Tiga goresan lalu bertambah hingga tidak bisa lagi aku hitung. Aku berhenti menangis dan perasaan sesak di dada perlahan menghilang.
“Sudah melihat diri Venus di pantulan cermin?”
Suara bu psikolog menyadarkanku. Aku sebenarnya tidak bisa berkonsentrasi sepenuhnya. Alih-alih membayangkan pantulan diriku di cermin, aku justru teringat mengerikannya wajahku ketika menatap cermin secara langsung. Aku bertanya-tanya apakah diriku ini layak meminta maaf dan dimaafkan atas segala yang terjadi.
“Sudah melihat?”
Aku mengangguk pelan. Membuka mulut untuk memanggil namaku dan mulai meminta maaf tapi rasanya lidahku begitu kelu. Entah aku memang tidak sanggup untuk melakukan ini atau aku sebenarnya malu karena melakukan di depan seseorang.